Sabtu, 23 Maret 2013




EFEK PEMBERIAN TANIN TERHADAP FERMENTASI RUMEN


              Pakan utama ternak ruminansia, hijauan atau limbah pertanian seperti jerami padi,  memiliki kadar serat kasar yang tinggi. Komponen terbesar dari serat kasar adalah berupa dinding sel yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Produk akhir dari aktivitas mikroba dalam mendegradasi substrat dinding sel tanaman adalah berupa asam lemak terbang (VFA). Komponen VFA yang utama adalah asam asetat, asam propionat, asam butirat, dan sejumlah kecil asam valerat. Selain menghasilkan asam lemak rantai pendek (short-chain fatty acid-SCFA), fermentasi karbohidrat dalam rumen akan menghasilkan sejumlah gas dan sel mikroba.
           Asam lemak terbang yang dihasilkan dari fermentasi karbohidrat merupakan sumber energi bagi ternak inang. Pada proses fermentasi ini juga dihasilkan produk-produk yang tidak berguna bagi ternak seperti CH4, ammonia, dan nitrat. Usaha-usaha peningkatan efisiensi penggunaan energi dari pakan telah banyak dan terus dilakukan, salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan cara manipulasi proses fermentasi yang terjadi dalam rumen dalam cara mengubah ekologi rumen yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan produk fermentasi yang diharapkan dan dapat menekan hasil fermentasi yang kurang bermanfaat.
            Manipulasi rumen dengan memproteksi protein dan tanin dengan kadar tanin tertentu dapat meningkatkan produksi ternak ruminansia. Kadar tanin yang digunakan harus dapat lepas pada saat memasuki kompleks intestinum sehingga dapat diabsorbsi. Protein yang seharusnya diproteksi adalah protein yang berkualitas. Protein yang berkualitas memilki susunan asam amino esnsial dan dapat terabsorbsi.
              Tanin merupakan senyawa polifenolik dengan bobot molekul yang tinggi dan mempunyai kemampuan mengikat protein. Tanin terdiri dari katekin, leukoantosiannin dan asam hidroksi yang masing-masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam. Tanin terdiri dari dua kelompok, yaitu condensed tanin dan hydrolizeable tanin. Kelompok condensed tanin merupakan tipe tanin yang terkondesasi,tahan terhadap degradasi enzim, tahan terhadap hidrolisa asam, dimetilasi dengan penambahan metionin. Condensed tanin diperoleh dari kondesasi flavanol-flavanol yang tidak mengandung gula dan mengikat protein sangat kuat sehingga menjadi rusak ( Widodo, 2005 ).

Gambar. Struktur Tanin
Tanin dapat berpengaruh terhadap ternak ruminansia semenjak bahan pakan yang mengandung tanin dikonsumsi, perlu diketahui bahwa tanin merupakan metabolite skunder yang ekskrsikan untuk sistem proteksi, sistem proteksi dengan mekanisme pengikatan protein menjadikan protein akan sukar terdegradasi. Menurut makkar (1993), tanin dapat menonaktifkan enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikrobia rumen, disamping dapat mengakibatkan keracunan bagi mikrobia. Hal ini mungkin diakibatkan oleh ikatan antara lain dengan dinding sel yang dapat mengganggu permiabilitas dinding sel mikrobia tersebut.
Tanin dapat berfungsi untuk memproteksi protein dengan kadar dan konsentrasi tertentu. Menurut Suryahadi et al., (2000), meode ini dikenal sebagai metode by passing dimana zat makanan dilindungi dari proses degradasi oleh mikrobia rumen karena degradasi oleh mikrobia rumen dapat menurunkan suplai zat makanan yang dapat dimamfaatkan langsung oleh hewan inang. Menurut Nyachoti et al ( 1997), interaksi tanin dengan protein terjadi melalui ikatan kovalen. Setiap intraksi protein-tanin memperlihatkna kinetic yang berbeda-beda tergantung pada struktur tanin,  pH dan senyawa lainnya. Komposisi dan polimerasi tanin merupaan faktor penting dalam menentukan kemampuannya membentuk kompleks tanin dan protein.

Daftar pustaka
Makkar, H. P. S. and K. Bukker. 1995. Degradation of condesed tannins by rumen mikrobes exposed to quebracho tannins (QT) in rumen simulation technique (RUSITEC) and effect of  QT on fermentative processes in the RUSITEC. J. Sci. Food Agric. 69: 495-500.
Nyachoti, C. M., J. L, Atkinson and S. Lesson. 1997 Shorgum tannins: a review. World’s journal poultry sci. 53:5-21.
Suryahadi, F. Y., 1995. Studi Awal terhadap kandungan protein, tanin dan serat detergen netral daun Caliandra colotyhrsus dengan perlakuan poliethilina glikol dan kapur dalam saluran pencernaan kelinci. FMIPA. Universitas Pakuan. Bogor
Widodo, W. 2005. Tanaman beracun dalam khidupan ternak. UMM Press. Malang.

Sistem Agroforestry (Pola Pertanian Terpadu) Di Daerah Istimewa Yogyakarta




PENDAHULUAN
             Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam sebuah peternakan. Biaya untuk pakan sebesar 70-80% dari biaya produksi, sehingga dirasa perlu adanya perhatian dalam persedian pakan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tanaman hijauan pakan untuk ternak ruminansia menjadi point central demi tercapainya swasembada daging sapi dan kerbau 2014. Kebutuhan pokok konsumsi tanaman hijauan untuk setiap harinya berkisar 10% dari berat badan ternak, sehingga dirasa perlu untuk meningkatkan produktivitas suatu lahan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Menurut (Sunarminto, 2010) sukses tidaknya industri peternakan di Indonesia, khususnya industri ternak ruminansia tergantung pada beberapa faktor. Salah satu faktor yang sangat penting adalah pengemabangan tanaman untuk penyedian pakan utamanya yang berupa hijauan.
          Semakin menyempitnya lahan pertanian subur karena banyak digunakan sebagai pemukiman, perkantoran, maupun fasilitas umum lainnya, menyebabkan perlunya upaya pemanfaatan lahan kering secara lebih intensif untuk budi daya tanaman pangan, perkebunan dan tanaman pakan serta peternakan. Perlunya peningkatan produktivitas untuk mendukung ketersediaan pakan sepanjang tahun.




TINJAUAN PUSTAKA
           Struktur lahan di daerah pantai berbeda dengan di daerah pengunungan, demikian pula susunan vegetasinya di kota berlainan dengan di daerah pedesaan. Umumnya struktur vegetasi lahan terutama pekarangan di pedesaan mempunyai keanekaragaman tanaman yang besar, mulai dari tanaman yang tumbuh menjalar diatas permukaan tanah sampai tanaman yang mempunyai tinggi lebih besar dari 20 meter (Karyono,1980). Budidaya lorong (alley cropping) dengan menggunakan leguminosa sebagai tanaman pagar (misalnya lamtoro) dinilai mampu meningkatkan keberadaan bahan organik tanah.  Pada lahan kering di daerah beriklim kering, pengembangan usaha tani diarahkan untuk memanfaatkan lahan datar di pelembahan, dengan kendala populasi gulma yang tinggi.  Pada kondisi demikian tampaknya sistem tumpang sari dan introduksi tanaman tahunan cukup memberikan harapan. Menurut Beets (1982), pola tanam tumpangsari adalah bentuk pertamanan campuran antara jenis – jenis tanaman yang ditanam dalam jarak dan baris – baris yang teratur. Salah satu bentuk pola tanam tumpangsari termasuk juga pertamanan campuran antara tanaman ekonomi dengan tanaman makanan ternak (Humphreys, 1979).
            Edris dan soessono (1987), komposisi jenis merupkan susunan dan jumlah jenis yang terdapat dalam komunitas tumbuhan. Untuk mengetahui komposisi jenis suatu tegakan, maka identifikasi jenis, jumlah serta susunannya menjadi hal yang wajib yang tak boleh dilupakan. Menurut Mahendra (2009), komposisi jenis pada pekarangan/ hutan tanaman merupaka komposisi yang disengaja, artinya jenis-jenis yang ditanam di pekarangan/ hutan tanaman merupakan jenis-jenis yang terpilih, sesuai keinginan pemilik. Akibat pemilihan jenis ini, maka terjadi kekhasan yaitu cendrung pada jenis-jenis ang bermamfaat dan memilki nilai ual tinggi.
Menurut Soetikno (1990), vegetasi menggambarkan perpaduan berbagai jenis tanaman di suatu wilayah atau daerah. Suatu tipe vegetasi menggambarkan suatu daerah dari segi penyebaran tumbuhan yang ada baik secara ruang maupun waktu. Menurut mahendra (2009), penerapan sistem agroforestry membuat struktur dan komposisi jenis suatu kawasan menjadi berbeda. Hal ini bisa kita bandingkan dengan tegakan murni atau penanaman dengan monokultur. Komposisi jenisnya pasti akan berbeda. Sistem agroforestry yang meniru hutan alam, memilki jenis yang beragam, struktur vegetasinya pun bisa mendekati hutan alam. Kelimpahan seedling, sapling, poles dan treesnya semakin tinggi seiring dengan pertamabahan fase agroforestrinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
           Secara umum sistem agroforestry pada suatu daerah tidak dapat langsung ditiru, meskipun perkembangannya ditempat asalnya sangat maju. Hal ini disebabkan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi bentuk agroforestry yang akan diterapkan disuatu daerah sistem agroforestry yang baik adalah sistem yang bersifat produktif, sustainable dan bisa diadopsi oleh warga pada suatu daerah. Sistem Agroforestry merupakan alternatip pengembangan pertanian lestari di lahan kering dataran tinggi perlu mendapat perhatian, serta kesungguhan untuk dicoba penerapannya dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan kesejahteraan keluarganya. Sistem agroforetry yang berprinsip LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) memanfaatkan bahan lokal, benih lokal, teknologi lokal, dan kearifan lokal sangat dapat berkembang baik disuatu wilayah

              Fungsi agroforestry pada suatu daerah akan pasti berbeda. Secara kesuluruhan peran agroforestry dalam ekosisitem menurut mahendra (2009) adalah menjaga kestabilan ekosisitem ditandai dengan keanekaragaan hayati yang tinggi, menjaga kestabilan tanah dan ketersediaan unsure hara dalam tanah, menjaga tata air dan ketersedian air tanah untuk proses fisiologi tanaman, memperbaiki struktur tanah, meminimalisisr dampak pemanasan global, meninkatkan swasembada dan mengurangi resiko hilangnya pendapatan karena pengaruh pasar atau biologi pada tanaman tertentu. 
          Penerapan agroforestry memiliki dua sisi yaitu sisi ekologi dan ekonomi, sehingga aspek pemilihan dan rencana jangka panjang akan menentukan yang dominan diantara keduanya. Banyak kasus dilapangan seperti over logging dan over area sering terjadi karena kurang memperhatikan aspek ekologi. Pendekatan ekonomi menjadikan produksi tanaman pokok yang ditanam untuk dijual akan dominan disuatu lahan menggeser tanaman kayu. Kondisi dan pengetahuan petani akan mempengaruhi penerapan agroforestry yang akan diterapkan. Pola tanam pada suatu daearah akan berbeda dengan daerah lain. Hal ini dipengaruhi oleh jenis tanaman yang ditanam, kontur tanah, dan lain-lain. Menurut Mahendra (2009), sistem agroforestry memilki pola tanam tertentu dalam mengkombinasikan komponen penyusunnya dalam satu ruang dan waktu. Pola ini dibentuk agar tidak terjadi interaksi negative antar komponen penyusunya. Interaksi negative dapat berupa kompetisi antar tanaman. 
        




                                    Gambar 1. Pola tanam Random pada dataran tinggi

            Pola tanam pada dataran tinggi yang diamati ada dua yaitu random dan  alley cropping. Pola tanam random terbentuk karena tidak adanya perencanaan awal dalam tata letak dan guna lahan. Para petani dengan bebas menanam tanaman disuatu lahan tanpa memperhatikan pola tanam. Pola tanam alley cropping pada dataran tinggi berfungsi untuk mengurangi laju air pada saat hujan,sehingga mengurangi erosi, hilangnya unsur hara tanah, meningkatkan daya ikat air oleh tanah.Menurut Huke dan Plecan (1992), keuntungan dari pola alley cropping adalah melindungi tanaman dari angin kencang dan cahaya yang berlebihan, menghasilkan pakan ternak dan konservasi tanah. 



                            Gambar 2. Pola tanam Alley cropping pada dataran tinggi

            Pola tanam alley cropping yang terlihat pada gambar diatas memiliki komponen berupa tanaman jagung dan kedelai. Kedelai merupakan salah satu tanaman penambat nitrogen, hampir tidak ada tanaman dapat tumbuh tanpa adanya nitrogen (N) dan kebanyakan tanah di daerah tropis telah diketahui memiliki cadangan N rendah. Namun, tidak demikian halnya dengan tanaman penambat N, mereka semata-mata tidak tergantung dengan cadangan N dalam tanah tetapi mereka mampu menambatnya melalui simbiosis dengan mikroba tanah.  Oleh karena itu beberapa spesies tanaman penambat N menjadi penting bagi kelangsungan hidup keluarga pedesaan di daerah tropis sebagai penyedia berbagai produk dan jasa. Karda dan Spudiati (2012) melaporkan berbagai fungsi tanaman penambat N antara lain sebagai sumber kayu api dan arang, pakan, penyubur tanah, kayu bangunan dan sebagai pangan untuk manusia.
            Pola tanam pada dataran rendah dan daerah pesisir pantai memiliki pola yang sama yaitu Trees along border, hal ini dimungkinkan karena berfungsi sebagai pelindung. Daerah pesisir pantai sangat membutuhkan pelindung, angin yang berasal dari arah pantai akan membawa molekul-molekul garam yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman bahkan mematikan. Agen wind break sangat diperlukan seperti tanaman cemara ekor udang dan pandan. Untuk mencapai keberhasilan usaha tani berkelanjutan di lahan kering perlu memperhatikan beberapa faktor yang mendukung peningkatan produksi serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan.  Peningkatan produksi di lahan kering dapat dicapai melalui cara budidaya tanaman yang tepat seperti : diversifikasi tanaman (multiple cropping), penggunaan varietas unggul, pengolahan tanah yang tepat, pola tanam sesuai ekosistem, pemupukan, pengelolaan air, pengendalian hama terpadu, pengendalian gulma, serta upaya konservasi tanah dan air. Pola Trees along border sangat cocok untuk dikombinasikan dengan tanaman cemara ekor udang yang berfungsi sebagai melindungi dari uap garam yang dapat menghambat tanaman pokok.
Gambar 3. Pohon cemara ekor udang (kiri), pandan yang mengililigi lahan (kanan)

            Tanah pada daerah pesisir yang berpasir menyebabkannya tidak subur dan mendukung pertumbuhan tanaman maka perlu penambahan bahan organic pada lahan tersebut, biasanya ditambahkan biomulsa dan pupuk organic. Upaya untuk meningkatkan manfaat ternak sapi adalah mengusahakannya secara terpadu dengan tanaman atau dikenal dengan sistem integrasi tanaman-ternak.  Sistem ini memberikan keuntungan kepada petani-peternak karena : 1) pupuk kompos dari kotoran ternak sapi dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai sumber pendapatan, 2) ternak dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja dan juga sumber pendapatan bila disewa oleh petani lain yang tidak memiliki ternak sapi, 3) limbah tanaman pokok bermanfaat  sebagai pakan sehingga mengurangi biaya penyediaan pakan (Elly et al., 2008).
Ada tiga komponen teknologi utama dalam sistem integrasi tanaman-ternak di lahan kering : (a) teknologi budidaya ternak; (b) teknologi budidaya tanaman; (c) teknologi pengolahan limbah pertanian untuk pakan dan pembuatan kompos.  Teknologi dalam budidaya ternak adalah pengandangan ternak dalam pola kelompok, yang dibarengi dengan penerapan teknologi pemeliharaan ternak, termasuk strategi pemberian pakan.  Teknologi budidaya tanaman yang biasa diusahakan di lahan kering berupa sistim tumpang sari.  Teknologi pengolahan limbah pertanian sebagai pakan ternak menjadi salah satu kunci keberhasilan sistem integrasi tanaman-ternak, disamping teknologi pengolahan dan pemanfaatan kompos untuk meningkatkan kesuburan lahan.  Agar komponen teknologi tersebut dapat diintegrasikan secara sinergis, maka pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak dilakukan dengan pendekatan kelembagaan sebab kalau diserahkan kepada petani secara perorangan tidak akan menguntungkan mengingat penguasaan lahan yang sempit dan pemilikan ternak yang terbatas (Haryanto et al., 2002 cit Sukar et al., 2005). 





KESIMPULAN
            Sistem agroforstry yang akan dilakukan pada suatu daerah seharusnya memperhatikan berbagai aspek khususnya kearifan lokal setempat, dan harus memperhatikan produktivitas, keberlanjutan dan adoptable. Pemilihan arah agroforestry dipikirkan secara tepat dan teliti, antara ecomic approach atau ecology approach. Penyusunan pola tanam pada sistem agroforestry akan dipengaruhi oleh fungsi tata guna lahan, kondisi dan letak lahan. Jenis vegetasi yang akan menjadi komponen dalam sistem akan sangat ditentukan oleh Iklim dan jenis tanah yag terdapat pada daerah tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Edris, I. dan Soeseno, O.Silvika. Fakultas Kehutanan. Yogyakarta.
Elly, F.H., B.M. Sinaga, S.U. Kuntjoro, dan N. Kusnadi.  2008.  Pengembangan Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Jurnal Litbang Pertanian,        27 (2).
Humphreys, L. R. 2005. Tropical Pasture Utilitisation. Cambridge university press.  Cambridge.
Karda, I.W. dan Spudiati.  2012.  Meningkatkan Produktifitas Lahan Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pakan dan Ternak Ruminansia.  Fakultas Peternakan Universitas Mataram.  ntb.litbang.deptan.go.id diakses tanggal 1 juli 2012.
Karyono. 1980. Pengalaman dengan agroforestry di jawa, indonesia. Fakultas kehutanan. Yogyakarta.
Mahendra, F. 2009. Sistem Agroforestri . Graha Ilmu. Yogyakarta
Soetikno, S. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sukar, W.I. Werdhani, dan Soeharsono.  2005.  Sistem Integrasi Tanaman-Ternak di Lahan Kering.  Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.
Sunarminto, B. H. 2010. Pertanian Terpadu Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional. BPFE UGM. Yogyakarta.





(Pengarahan Singkat dari Prof. Dr. Ir. Soemitro P, M. Sc, dan Bambang Sowiegnyo S. Pt, M.Sc, Ph. D kepada penulis dan rekan-rekan penulis, sebelum pengambilan data)

Fungsi Membran Untuk Proses Transpor Dan Peran Kestabilan Membran Pada Mikrobia Dalam Suhu Ekstrim




1.    Fungsi membran dalam proses transpor nutrien
Membran plasma atau membran sel tersusun atas molekul lemak dan protein. Molekul lemak terdiri atas dua lapis, terdapat di bagian tengah membran. Di sebelah luarnya terdapat lapisan protein perifer (protein tepi), yang menyusun tepi luar dan dalam membran. Selain protein perifer, terdapat pula molekul-molekul protein tertentu yang masuk ke dalam lapisan lemak. Bahkan ada yang masuk hingga menembus dua lapisan lemak. Protein yang masuk ke lapisan lemak itu disebut protein integral.
Suatu membran tetap berwujud fluida begitu suhu turun, hingga akhirnya, pada beberapa suhu kritis, fosfolipid mengendap dalam suatu susunan yang rapat dan membrannya membeku, seperti halnya minyak babi yang membentuk kerak lemak ketika minyaknya mendingin. Suhu beku membran tergantung pada komposisi lipidnya. Membran tetap berwujud fluida pada suhu yang lebih rendah jika membran itu mengandung banyak fosfolipid dengan asam lemak tak jenuh.
Bilayer lipid merupakan penyusun utama dari membran, tetapi protein yang menentukan fugsi spesifik membran. Terdapat dua lapisan utama protein, yaitu protein integral dan poriferal. Protein integral umumnya merupakan protein transmembran, dengan daerah hidrofobik yang seluruhnya membentang sepanjang interior hidrofobik membran tersebut. Daerah hidrofobik protein integral terdiri atas satu atau lebih rentangan asam amino non polar yang biasanya bergulung menjadi heliks α. Ujung hidrofilik molekul ini dipaparkan ke larutan aqueous pada kedua sisi membran. Protein poriferal tidak menembus lipid bilayer, biasanya berada pada di salah satu permukaan.
Fungsi protein membran :
a.    Fungsi transpor material, protein integral yang membentang sehingga menembus lipid bilayer menjadi saluran hidrofilik sehingga material/nutrien dapat melewati membran sel yang bersifat spesifik. Protein membran dapat berfungsi sebagai pembawa (carrier) senyawa-senyawa yang melewati membran baik secara difusi atau transport aktif.  Protein yang ada di membran dapat menghasilkan ATP untuk digunakan sebagai energi untuk memompa bahan nutrien ke dalam sel(contohnya mineral Na dan K).
b.    Aktivitas enzimatik, salah satu penyusun membran adalah protein yang salah satu sisi aktifnya dapat menjadi enzim, sehingga diketahui terjadi banyak proses enzimatik yang terjadi di sekitar membran sel.
c.    Pemberiaan sinyal, protein dapat membentuk menjadi senyawa yang spesifik sehingga menjadi sinyal/penanda.
Beberapa metode/cara yang digunakan untuk melakukan transpor nutrien sebagai berikut :
a.    Difusi sederhana, molekul yang dapat melewati membran dengan bebas adalah air, oksigen dan karbondioksida. Difusi sederhana ini memiliki ciri pergerakan molekul dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (menurut gradien konsentrasi). Mikromolekul dalam bentuk hidrofobik dapat melewati plasma dengan mudah, sedang makromolekul dan bentuk ion sulit melewati membran plasma.  Molekul yang hidrofobik dengan mudah melewati lapisan lemak karena larut dalam lemak atau pori pada lapisan lemak. 
b.    Difusi dengan adanya carrier/pembawa, yaitu difusi yang memerlukan penggandeng (carrier) dan bukan memerlukan ATP dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Gerakan transport ini lebih cepat dibandingkan difusi sederhana.  Molekul yang membawa adalah protein, karena protein mempunyai bagian tertentu yang dapat menggandeng  dengan molekul yang diangkut.
c.    Transpor aktif, yaitu perpindahan molekul dengan adanya bantuan energi sehingga dapat memindahkan nutrien dari gradien rendah ke tinggi.
Gambar. Membran Sel Bakteri Gram negatif dan Positif



2.    Peran membran pada mikrobia yang dapat tahan suhu ekstrim (suhu tinggi ataupun suhu rendah)
Derajad ketidakstabilan membran tergantung pada tingkat kejenuhan asam lemak.  Asam lemak jenuh akan memberikan sifat yang kaku, berbeda dengan asam lemak yang tidak jenuh akan memberikan struktur yang lebih cair.  Selain itu fluiditas membran juga dipengaruhi oleh suhu, dimana sel yang hidup pada daerah suhu yang rendah mempunyai asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibanding dengan sel yang hidup pada suhu tinggi.
Proses metabolisme yang terjadi dalam sel mikrobia terjadi secara enzimatik, protein merupakan penyusun dari enzim, protein sangat peka oleh faktor suhu sehingga terdapat titik optimal enzim dapat bekerja. Mikrobia yang dapat tumbuh di suhu rendah menunjukkan bahwa enzim yang dimiliki oleh mikrobia tersebut optimal pada suhu tersebut.

Dokumentasi Manajemen Industri Peternakan


             Praktikum Manajemen Industri Pakan di PT. JAFPA Sragen. Foto bersama Penulis (Askari Zakariah) dengan Direksi Perusahaan, Dosen Fakultas Peternakan UGM (Prof. Dr. Drh. Soejono, M. Sc, M. Si, Prof. Dr. Ir. Ristianto Utomo, Prof. Dr. Ir. Ali Agus) dan rekan-rekan Mahasiswa



Industri Pakan Ternak


            Konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia, semakin hari semakin meningkat. Konsumen mulai memperhatikan kualitas protein hewani yang dikonsumsinya. Kualitas protein hewani sangat ditentukan oleh nutrient pakan yang diberikan ke ternak. Fungsi pakan menjadi sangat penting dalam memelihara kesehatan, daya tahan tubuh, dan pertumbuhan bagi ternak, sehingga ternak tumbuh sesuai yang diinginkan.
            Pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, disenangi, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, diabsorbsi dan bermanfaat bagi ternak (Kamal, 1994; Mc Donald et al., 2002). Pakan merupakan faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak, sering dihitung 50% sampai 75% dari biaya total (Kellems dan Church, 2010). Pakan sebagai central point dalam usaha peternakan dalam memaksimalkan potensi genetik dari seekor ternak, menjadikan pakan sebagai faktor yang selalu dikelola secara efektif dan efisien dalam menekan biaya total produksi untuk memperoleh profit sebesar-besarnya.
         Perusahaan pabrik pakan ternak di Indonesia memiliki peran dalam industri peternakan. Peluang bisnis yang terbuka di Indonesia menjadikan perusahaan pabrik pakan ternak memiliki peluang yang cukup baik dalam pengembangannya. Beberapa perusahaan pabrik makanan ternak di Indonesia yang cukup besar seperti PT. Charoen Pokphand, PT. Japfa Comfeed, PT. Sierad Produce, dan  PT. CJ Feed. Ketersediaan pakan menjadi persoalan besar bagi perusahaan pabrik pakan ternak, selain kuantitas permintaan pasar dalam jumlah besar yang harus dipenuhi oleh pabrik, masalah kualitas tidak dapat diabaikan.
            Perusahaan pabrik pakan ternak di Indonesia memiliki fokus pada  produksi pakan konsentrat. Menurut Agus (1999), pengolahan pakan konsentrat memiliki tujuan bertujuan untuk mengubah ukuran partikel, mengubah kadar air, mengubah densitas pakan, meningkatkan palatabilitas, mengubah kandungan nutrien, mempertahankan kualitas selama penyimpanan dengan menurunkan kadar air, dan meningkatkan keuntungan.
            Feed Manufacturing merupakan proses konversi bahan baku menjadi pakan serasi/seimbang  (balance diet) yang dibutuhkan oleh ternak. Feed Manufacturing dapat didefinisikan sebagai suatu proses untuk menghasilkan produk dalam suatu feed mill yang memiliki suatu perlengkapan yang dapat memproroses bahan pakan (misalnya proses grinding dan extruding). Feed Labeling menjadi salah satu poin dalam Feed Manufacturing. Fungsi  Labeling adalah sebagai sumber informasi, termasuk di dalamnya daftar analisis komposisi dan jaminan (Cheeke, 2005).
Proses produksi pada sebuah pabrik pakan ternak meliputi Pre-mixing, Grinding, mixing, processing, packing. Adanya proses pengolahan bahan baku dalam industri pakan ternak ternyata menimbulkan dampak, baik menguntungkan maupun merugikan. Keuntungan yang dapat diperoleh dari proses tersebut dapat dilihat dari segi biaya, operasional, dan bahan. Ditinjau dari segi biaya, proses pengolahan bahan baku dapat menurunkan biaya(tenaga kerja, energi, dan produksi); dari segi operasional akan memudahkan penanganan (handling), pencampuran, dan pengubah bentuk; serta dari segi bahan akan meningkatkan daya cerna dan palatabilitas. Adapun kerugian proses pengolahan dalam industri pakan ternak, antara lain adalah terbentuknya debu, penurunan kadar air, dan berkurangnya volume bahan (Retnani, 2011).
            Variasi kualitas dalam pakan jadi dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu kondisi/kualitas bahan baku, pengaruh processing, packing, dan penyimpanan dalam gudang. Kualitas bahan baku dipengaruhi dari faktor  perlakuan prapanen, panen, pascapanen, dan kesuburan tanah serta varietas tanaman. Tanah yang mengandung nitrat yang cukup tinggi akan memberikan pengaruh pada kandungan nitrat  tanaman yang berada disekitar area tersebut. Jenis varietas antar tanaman akan memberikan kualitas yang berbeda pula, tanaman yang dirancang tahan terhadap serangan serangga penggerek akan memiliki serat kasar yang lebih tinggi dibandingkan varietas yang lain. Perlakuan/penanganan  pasca panen dapat mempengaruhi kualitas bahan baku, penyimpanan bahan baku setelah panen tanpa memperhatikan kadar air dan kondisi penyimpanan pasca panen dapat menyebabkan penurunan kualitas bahan baku (ransiditas/tengik, tumbuhnya jamur dan bakteri, serta invasi serangga).
Efek dari processing dapat mempengaruhi nilai nutrisi dari suatu pakan jadi, misalnya dalam proses  steam pelleting dengan menggunakan tekanan yang berbeda akan menghasilkan nilai yang berbeda pula. Metode processing  pakan jadi akan sangat mempengaruhi nilai nutrisinya. Interaksi antar bahan pakan dalam processing sangat mungkin dapat terjadi, reaksi browning reaction (reaksi ikatan kompleks senyawa karbohidrat dengan protein yang terjadi pada saat adanya panas), panas dihasilkan dapat berasal dari metodenya (seperti pada pelleting) atau dari gesekan mesin. Pencemaran atau kontaminasi dapat berasal dari mesin, metode dan penanganan. Penggunaan molasses dalam pakan jadi dapat menyebabkan beberapa bahan terikat dan menempel dengan molasses di dinding mesin, sehingga pada proses pengolahan pakan jadi dengan komposisi pakan jadi tanpa molasses atau bahan yang menempel bersama molasses dapat mempengaruhi nila nutrisi pakan jadi. Penambahan senyawa-senyawa pengawet seperti antioksidan dalam processing dapat mempengaruhi persentase komposisi kimia pakan jadi. Menurut Agus (2008), pakan konsentrat seperti tepung ikan yang dimanfaatkan sebaai pakan ternak dapat ditambahkan senyawa antioksidan seperti ethoxyquin untuk mencegah minyak menjadi tengik. 

TEKNOLOGI HASIL IKUTAN TERNAK DASAR: POTENSI GELATIN IKAN





M Askari Zakariah
(09/288529/PT/5771)




FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012







PENDAHULUAN
Latar Belakang
           
Indonesia yang merupakan Negara yang memiliki 2/3 bagian areanya adalah laut, sehingga memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan aquaculture. Limbah ikan yang dapat berupa tulang dan kulit menjadi masalah terhadap kerusakan lingkungan,pasalnya bahan organic dapat menjadi sumber penyakit, dan bau. Pengembagan teknologi hasil ikutan ternak merupakan solusi cerdas dalam pemanfaatan hal tersebut. Pembuatan gelatin dari tulang dan kulit ikan menjadi salah satu  alternative environmental friendyl. Gelatin merupakan turunan protein dari kolagen yang terdenaturasi akibat adanya panas. Pemanfaatan gelatin sangat luas, salah satunya adalah pada makanan.
Pemakaian gelatin di bidang pangan mencapai 70% dari total produksi gelatin dunia. Di dalam industri pangan, gelatin adalah salah satu polimer yang larut air, dapat dipakai sebagai agen pembentuk gel (gelling), pengental (thickening) dan penstabil (stabilizing). Gelatin dapat membentuk gel, dan sesuai suhu bersifat reversible, dan gel akan meleleh pada suhu dibawah suhu tubuh, sehingga memberikan sifat organoleptik yang unik. Lebih luas gelatin bisa dipakai sebagai penggumpal, pembentuk sifat elastis, pengemulsi, pembentuk busa, pengikat air, pelapis tipis (film) dan pemerkaya gizi. Berikut adalah contoh aplikasi gelatin pada berbagai produk pangan;
  • Produk daging olahan: berfungsi untuk meningkatkan daya ikat air, konsistensi dan stabilitas produk sosis, kornet dan ham.
  • Produk susu olahan: berfungsi untuk memperbaiki tekstur, konsistensi dan stabilitas produk dan menghindari sineresis pada yoghurt, es krim, susu asam, dan keju cottage.
  • Produk bakery: berfungsi untuk menjaga kelembaban produk, sebagai perekat bahan pengisi pada roti-rotian.
  • Produk minuman: berfungsi sebagai penjernih sari buah (juice), bir dan wine.
  • Produk buah-buahan: berfungsi sebagai pelapis (melapisi pori-pori buah sehingga terhindar dari kekeringan dan kerusakan oleh mikroba) untuk menjaga kesegaran dan keawetan buah.
  • Produk permen dan sejenisnya: berfungsi untuk mengatur konsistensi produk, mengatur daya gigit dan kekerasan serta tekstur produk, mengatur kelembutan dan daya lengket di mulut.
Untuk penggunaan di bidang pangan, gelatin dikategorikan sebagai bahan tambahan pangan (food additive), dan telah digolongkan dalam generally regarded as safe (GRAS) (Pranoto, 2012).
Permasalahan seperti kekhawatiran konsumen terhadap sumber gelatin menjadi sangat serius, ternak babi dan ternak sapi yang mengidap penyakit mad cow menjadi titik penting dalam mendukung pemanfaatan sumber gelatin alternatif. Masyarakat muslim, yahudi memiliki ajaran untuk tidak memakan babi, lalu umat hindu tidak memakan sapi menjadi faktor hambatan penggunaan gelatin dari babi dan sapi. Sumber gelatin yang berasal dari ikan sepatutnya harus dicoba, tetapi perlu terus dikembangkan teknologi proses yang dapat meningkatkan cita rasa dari makanan yang ditambahkan gelatin yang bersumber dari ikan. Beberapa penilitian terus dikembangkan, dengan tujuan apakah gelatin yang bersumber dari tulang dan kulit ikan dapat menggantikan proporsi gelatin dari sapi atau babi yang ditambahkan kedalam suatu bahan makanan.

Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah :
1.   Bagaimanakah karakteristik gelatin yang berasal dari ikan ?
2. Berapa potensi gelatin yang bersumber dari tulang dan kulit ikan ? 
3. Dapatkah gelatin dari tulang ikan menggantikan proporsi penambahan gelatin dari ternak sapi dan babi ?


PEMBAHASAN

Karakteristik gelatin antar spesies dan bangsa ternak akan pasti berbeda hal ini disebabkan potensi genetik antar ternak berbeda. Faktor spesies, bibit, umur, pakan, kondisi penyimpanan bahan baku, serta kondisi lingkungan hidup ternak. Menurut Pranoto (2012); Muyonga et al. (2004), Gelatin ikan pada umumnya memiliki kekuatan gel lebih rendah dibandingkan gelatin mamalia. Gelatin hasil ekstraksi dari ikan yang hidup di air hangat memiliki kekuatan gel lebih baik daripada ikan-ikan perairan dingin dan laut dalam. Faktor yang mempengaruhi sifat gelatin adalah spesies, bibit, umur, pakan, kondisi penyimpanan bahan baku, serta kondisi lingkungan spesiesnya. Kekuatan gel gelatin juga dipengaruhi oleh suhu pematangan gel nya, dimana nilai Bloom akan meningkat 35-60% ketika suhu diturunkan dari 10oC ke 4oC.
Perbedaan utama dari gelatin ikan dan gelatin mamalia seperti babi dan sapi pada komposisi asam amino yang menyusun gelatin, gelatin ikan memiliki kekuatan gel (gel strenght) lebih rendah dan suhu leleh (gelling point) yang lebih rendah, namun memiliki viskositas yang relatif lebih tinggi dibandingkan gelatin mamalia. Gelatin ikan memiliki kekuatan gel dan suhu leleh yang rendah berhubungan dengan tempat dia hidup. Dimana umumnya kolagen yang berasal dari lingkungan temperatur rendah mempunyai kandungan asam amino (prolin dan hidroksiprolin) yang lebih rendah dari spesies yang hidup pada suhu yang lebih tinggi.
Keunikan gelatin ikan terletak pada kandungan asam amino penyusun gelatin. Meskipun semua gelatin tersusun dari 20 asam amino yang sama, namun bervariasi pada jumlah asam aminonya: prolin dan hidroxiprolin. Dengan jumlah asam amino yang rendah, ikatan hydrogen dalam larutan air lebih sedikit, dan karenanya terjadi penurunan pada suhu gelling. Dengan suhu gelling yang lebih rendah, penggunaan komersial lain dari gelatin ikan sedang dikembangkan (Baziwane and He, 2003).
Gelatin dengan kadar asam amino tinggi akan memiliki titik leleh lebih tinggi (Muyonga et al., 2004). Titik leleh gelatin akan meningkat dengan peningkatan berat molekul proteinnya (Jamilah and Harvinder, 2002). Karakteristik gelatin ikan yang memiliki kekuatan gel dibawah kekuatan gel sapi dan babi, menjadikan beberapa teknologi pengolahan untuk mengupayakan peningkatan kualitas gelatin dari tulang dan kulit ikan. Penggunaan formaldehid dan glutaraldehid menjadi salah satu teknik peningkatan kualitasnya. Menurut Jones (2004) bahwa penambahan formaldehid dan glutaraldehid merupakan cara yang efektif, tetapi penggunaan bahan kimia tersebut dalam pembentuk ikatan silang tersebut dapat bersifat toksik untuk dikonsumsi, dan tidak disarankan penggunaannya dalam bidang pangan. Menurut Draget and Haug (2004), Upaya-upaya lain seperti mengekstraksi gelatin dari spesies ikan air hangat, hidrolisasi unit prolin, enzim transglutaminase dan sistem biopolymer campuran. Langkah mencampur gelatin ikan dengan biopolymer adalah yang banyak digunakan oleh masyarakt eropa. Beberapa biopolymer yang dikaji seperti alginate, karaginan, dan agar.




KESIMPULAN 
        
         Gelatin yang berasal dari tulang dan kulit ikan memiliki kualitas yang berbeda dengan kulit mamalia seperti sapi dan babi, yang selama ini merupakan sumber gelatin yang sering digunakan oleh masyarakat. Potensi gelatin yang bersumber dari ikan sangat besar, mengingat bahwa indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki daerah lautan lebih luas dibandingkan daratan. Proses untuk mengganti sumber gelatin dari sapi dan babi menjadi ikan dapat terjadi jika melalui proses yang dapat meningkatkan kualitas khususnya pada faktor kekuatan gel.



DAFTAR PUSTAKA
Baziwane, D. and Q. He. 2003. Gelatin: the paramount food additive. Food Reviews International. Vol (4): 423-435.
Draget, K. and I. Haugh. 2004. Optimalization fish gelatin. Bioproduct Marine Seminar. Norway.
Jamilah, B. and K. G. Harvinder. 2002. Properties of gelatins from skin of fish-black tilapia and res tilapia. Food Chemistry. Vol 77:81-84.
Jones, R. T. 2004. Gelatin; manufacture and physico-chemical properties.  Phamaceutical press. London.
Muyonga, J. H., C. G. B., and K. G. Doudu. 2004. Extraction and hysico-chemical characcterisation of Nile perch (Lates niloticus) skin and bone gelatin. Food Hydrocolloids. Vol. 18: 581-592.
Pranoto. Y. 2012. Pemanfaatan Gelatin Ikan dalam Industri Pangan. http://www.foodreview.biz/login/preview.php?view&id=55706. Diakses pada tanggal 25 Desember 2012. 16.30.
  

Nutrisi Pakan Ruminansia


RUMINANSIA



    Perbedaan antara ternak ruminansia dengan ternak non ruminansia adalah ternak ruminansia dikaruniakan tuhan sebuah perut jamak yang sering disebut kompleks retikulorumen. Kompleks retikulorumen ini mengandung populasi mikrobia, salah satu mikrobia yang terdapat di dalam rumen adalah mikrobia selulolitik, yaitu mikrobia pendegradasi selulosa menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti Volatil fatty acid (VFA), VFA inilah yang dijadikan ternak inang seperti sapi sebagai sumber energi dan asam lemak susu (untuk sapi perah). Bayangkan saja, ketika ternak sapi dengan bobot badan 500 kg tidak dikaruniakan tuhan sebuah komplek retikulorumen, kemungkinan tidak dapat menggunakan selulosa sebagai substratnya sehingga kebutuhan akan jagung, bungkil kedelai atau pakan konsentrat lainnya akan sangat banyak. Ternak ruminansia adalah kelompok ternak yang mempunyai tulang belakang, mempunyai rahang, dan pada bagian alat reproduksinya mempunyai plasenta. Ternak ruminansia mempunyai empat bagian perut yaitu :
Rumen
1.    Rumen merupakan bagian perut yang paling depan dengan kapasitas paling besar. Rumen berfungsi sebagai tempat penampungan pakan yang dikonsumsi untuk sementara waktu. Di dalam rumen pakan tercampur dengan cairan berlendir yang disebut saliva. Setelah beberapa saat pakan ditampung, pakan dikembalikan lagi kedalam mulut untuk dikunyah. Proses ini berlangsung beberapa kali terutama bagi jenis makanan yang mempunyai konsentrasi serat kasar tinggi.
Retikulum
 2.    Retikulum merupakan bagian perut yang mempunyai bentuk permukaan menyerupai sarang tawon dengan struktur yang halus dan licin serta berhubungan langsung dengan rumen.

3.    Omasum adalah bagian perut setelah retikulum yang mempunyai bentuk permukaan berlipat-lipat dengan struktur yang kasar. Bentuk fisik ini dengan gerakan peristaltik berfungsi sebagai penggiling makanan yang melewatinya dan juga berperan menyerap sebagian besar air.

Omasum
4.    Abomasum merupakan bagian perut yang terakhir. Sebetulnya bagian inilah yang sebenarnya merupakan perut ternak ruminansia. Keempatnya tidak mempunyai perbedaan yang nyata ketika dilahirkan. Bagian perut yang terakhit (abomasum) mempunyai ukuran lebih besar dibanding ketiga bagian perut yang lain. Fungsi ketiga bagian perut (rumen, retikulum dan omasum) ternak ruminansia adalah(1) alat pencerna mekanis (2) penghasil bakteri pencerna serat kasar (3) penghasil protein dan asam amino esensial (4) pensintesis vitamin B.


Abomasum

Kambing Peranakan Ettawa
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Wonosobo (2007) menyatakan bahwa kambing peranakan etawah (PE) merupakan hasil persilangan kambing etawah (kambing jenis unggul dari India) dengan kambing kacang (kambing asli Indonesia). Kambing PE dapat beradaptasi dengan kondisi iklim Indonesia, mudah dipelihara, dan merupakan ternak jenis unggul penghasil daging juga susu. Produksi daging kambing PE lebih tinggi dibandingkan dengan kambing kacang. Bobot badan kambing PE jantan dewasa antara 65 sampai 90 kg dan yang betina antara 45 sampai 70 kg. Produksi susu mencapai 1 sampai 3 liter/hari. Ciri-ciri kambing PE adalah sebagai berikut: postur tubuh tinggi, untuk ternak jantan dewasa gumba atau pundak mencapai 90 sampai 110 cm dan betina 70 sampai 90 cm; kaki panjang dan bagian paha ditumbuhi bulu atau rambut panjang; profil tampak cembung; telinga panjang (25 sampai 40 cm) terkulai ke bawah; dan warna bulu umumnya putih dengan belang hitam atau coklat, tetapi ada juga yang polos putih, hitam, atau coklat.
Kambin Peranakan Ettawa.

BAHAN PAKAN
Bahan pakan adalah setiap bahan yang dapat dimakan, disukai, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, tidak membahayakan bagi pemakannya dan bermanfaat bagi ternak.
Berdasarkan sifat fisik dan kimia yang spesifik sesuai dengan kegunaannya maka bahan pakan  dapat diklasifikasikan menjadi 8 kelas yaitu:
Kelas 1: Hijauan kering  dan jerami  kering
Kelas 1, meliputi berbagai hijauan pakan yang sengaja dipanen dan dikeringkan, dan juga berbagai jerami kering yang sengaja dipanen dan dirawat. Kelas 1 ini mengandung serat  kasar dan  dinding sel yang tinggi yaitu masing - masing > 18%  dan  > 35 % dalam bahan kering, sehingga rendah kandungan energi tersedia per unit bobot.


Kelas 2: Hijauan segar dan jerami segar
Kelas 2, meliputi berbagai hijauan pakan dan jerami yang belum ataupun sudah dipanen dan diberikan kepada ternak masih dalam keadaan segar.



Kelas 3: Silase (silage)
Kelas 3, meliputi berbagai hijauan pakan yang telah dipotong-potong  dan telah mengalami proses fermentasi terkontrol, tidak termasuk silase ikan, butir-butiran sebangsa padi, biji-bijian sebangsa legum , dan umbi-umbian.
Kelas 4: Sumber Energi
Kelas 4, meliputi berbagai bahan pakan   yang   mengandung   protein   kasar  < 20% dan  serat kasar < 18% atau dinding sel < 35% dalam bahan kering. Kelas 4 ini termasuk pula sumber energi yang telah mengalami proses fermentasi (silase).
Kelas 5: Sumber Protein
Kelas 5, meliputi berbagai  bahan  pakan yang  mengandung  protein kasar ³ 20% dalam bahan kering. Kelas 5 ini ada yang berasal dari hewan dan ada yang berasal dari tanaman. Sumber protein ini disebut pula sebagai konsentrat protein.
Kelas 6: Sumber Mineral
Kelas 6, meliputi berbagai bahan pakan yang tinggi kandungan mineralnya. Kelas ini ada yang sebagai sumber mineral makro dan ada yang sebagai sumber mineral mikro, baik yang mengandung satu macam atau lebih dari satu macam mineral. Sumber mineral ini disebut pula sebagai konsentrat mineral.

Kelas 8: Sumber Vitamin
Kelas 7, meliputi berbagai bahan pakan yang tinggi kandungan vitaminnya dan termasuk pula preparat vitamin. Kelas 7 ini ada yang mengandung satu macam vitamin ataupun lebih dari satu macam vitamin. Sumber vitamin ini disebut pula sebagai konsentrat vitamin.

Kelas 8: Additif  pakan
              Kelas 8, meliputi berbagai bahan yang tidak berfungsi sebagai sumber nutrien  atau non nutrien. Penggunaannya adalah dengan cara ditambahkan atau diimbuhkan ke dalam pakan dalam jumlah sedikit dengan tujuan tertentu. Misalnya untuk memacu pertumbuhan, memacu produksi, memberi warna, memberi bau ataupun sebagai bahan pengisi.

PAKAN

Pakan adalah satu macam atau campuran lebih dari satu macam bahan pakan yang khusus disediakan untuk ternak.
Konsentrat. Konsentrat adalah bahan pakan yang rendah kandungan serat kasar dan tinggi kandungan nutriennya. Pangan demikian dapat dinyatakan pula bahwa bahan pakan konsentrat adalah setiap bahan pakan yang kandungan serat kasarnya kurang dari 18% dan TDN-nya di atas 60% berdasarkan bahan kering. Dalam penggolongan bahan makanan secara internasional, ada dua golongan konsentrat berdasarkan kadar proteinnya, yaitu sumber energi dan sumber protein. Termasuk dalam kelompok konsentrat sumber energi adalah bahan-bahan dengan protein kasar kurang dari 20%, serat kasar kurang dari 18% dab dinding sel kurang dari 35%. Sebagai contoh konsentrat sumber energi adalah biji-bijian, limbah penggilingan, buah-buahan, kacang-kacangan, akar-akaran, serta umbi-umbian. Termasuk dalam konsentrat sumber protein adalah bahan-bahan yang mengandung protein kasar 20% atau lebih dari bahan yang berasal dari hewan maupun berasal dari bungkil, bekatul, dan lain-lain.
Hijauan. Hijauan merupakan makanan utama kambing atau bagi ternak ruminansia lainnya dan berfungsi sebagai sumber nutrisi, yaitu protein, sumber tenaga, vitamin dan mineral. Untuk penyediaan hijauan yang berkelanjutan maka pembudidayaan hijauan makanan ternak yang unggul perlu ditingkatkan. Untuk mengetahui tinggi rendahnya mutu hijauan yang diberikan dapat dilakukan secara cepat dengan memperhatikan beberapa kriteria sebagai patokan, seperti lembut atau tidaknya permukaan bahan pakan tersebut, bentuk bahan pakan dan waktu potong bahan pakan atau hijauan tersebut. Adapun hijauan unggul yang sudah banyak dikenal antara lain rumput gajah, kolonjono, Gliricideae maculata, lamtoro, kaliandra.

PENYUSUNAN RANSUM
Ransum adalah sejumlah pakan yang dikonsumsi ternak selam 24 jam tanpa memperhatikan nutrien yang ada untuk seekor ternak
Ransum seimbang atau ransum serasi (balanced ration) adalah ransum yang mengandung semua nutrien yang dibutuhkan ternak sesuai dengan tujuan pemeliharaan. Kegunaan dari formulasi ransum adalah untuk menuangkan pengetahuan tentang zat atau bebrapa zat makanan, bahan atau beberapa bahan makanan menjadi suatu bahan makanan (ransum) yang dapat memenuhi kebutuhan ternak yang mempunyai tingkat produksi tertentu yang dikehendaki oleh peternak
Tipe ransum yang diberikan ada dua yaitu complete feed (ransum lengkap) dan pemberian terpisah antara konsentrat dan hijauan. Complete feed (ransum lengkap) adalah ransum yang disusun sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan lagi tambahan bahan makanan atau zat makanan apapun dari luar; siap diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya.
Membuat atau menyusun ransum ternak yang seimbang dibutuhkan data yang meliputi :
1. Kebutuhan ternak, dapat menggunakan data dari Nutrient Requerment of Goat (NRC, 1981)
2. Komposisi bahan pakan atau kandungan gizi bahan pakan. Dapat diperoleh dari publikasi ilmiah misal Hari Hartadi et., al (1980), atau hasil analisis yang ada di referensi lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum menyusun ransum adalah sebagai berikut:
a.    Menentukan bahan pakan apa saja yang akan digunakan dalam menyusun ransum.
b.    Mengetahui kandungan nutrien masing-masing bahan pakan. Kandungan nutrien dapat dilihat pada NRC (1994), hasil analisis laboratorium, peneliti, lembaga penelitian ternak atau yang lainya.
c.    Mencari data kebutuhan standar ternak. Hal ini dapat dilihat pada tabel NRC (1994), ARC (British), INRA (Prancis), Morrison’s Feeding Standar, Lembaga penelitian atau tabel lainnya,
d.    Mengetahui harga bahan pakan per kg.
Formulasi ransum dapat dilakukan melalui beberapa metode, antara lain:
a.   metode coba-coba (Trial and Error Method)
b.   metode bujur sangkar (square method)
c.   metode eksak (exact method)
d.   simultaneous equation method
e.   linier programing method

PENCAMPURAN

Pencampuran atau Mixing merupakan proses pencampuran bahan pakan yang mencakup proses pengadukan dan pengacakan. Pengadukan berarti meningkatkan keseragaman, sedang pengacakan berarti meningkatkan keragaman. Pencampuran bahan pakan menggunakan mixer horisontal dan mixer vertikal. Teknik pencampuran konsentrat dapat dilakukan dengan menggunakan tenaga mekanis (mixer) maupun manual. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pencampuran konsentrat maupun ransum yaitu: kestabilan bahan pakan, jarak waktu pencampuran dengan penggunaan dan peralatan yang digunakan.
Dalam formulasi ransum tujuan pencampuran adalah untuk mengkombinasikan kedua proses diatas yaitu pengacakan komponen pakan yang berbeda menjadi satu bentuk campuran. Pencampuran pakan melibatkan kombinasi pencampuran antara bahan bentuk padat dan padat-cair. Bahan pakan utama dicampur pertama kali kemudian diikuti dengan material cair. Vitamin dan berbagai mineral ditambahkan setelah premix. Berbagai tipe pencampuran pakan ditujukan agar bahan pakan dapat tercampur menjadi campuran yang homogen.
Prinsip pencampuran yaitu menggabungkan beberapa bahan dengan cara menyebarkan bahan sehingga pada jumlah tertentu dari campuran terdapat komponen bahan dalam perbandingan tetap. Kualitas mixing dipengaruhi oleh ukuran partikel, bentuk partikel, berat spesifik, higroskopisitas dari partikel, kepekaan terhadap muatan elektronik, daya rekat sejati pada permukaan yang kasar atau ditimbulkan akibat penambahan minyak.