Kamis, 11 April 2013

Perencanaan Pabrik Pakan Ternak (Feed Mill Plant Lay Out and Design)

          Industri pakan ternak menjadi daya tarik usaha pada dekade terkhir ini, untuk menunjang wawasan perencanaan pabrik pakan ternak maka kami akan memperlihatkan video tentang pabrik pakan ternak (ruang kontrol, warehouse, dan beberapa mesin yang terdapat dalam sebuah feed mill/pabrik pakan)

       

      Perencenaan Pabrik Makanan Ternak ternak harus memperhatikan beberapa aspek produksi:

a. analisis potensi pasar. Pasar yang merupakan tempat penjualan produk pakan ternak menjadi poin sentral dari suatu pabrik pakan ternak, pabrik pakan ternak yang memiliki produksi besar tentunya memiliki pasar yag besar pula. Kekuatan kompetitor dalam sebuah pasar sebelumnya telah harus dikalkulasikan, sehingga produk baru yang akan kita launch ke pasaran apat bersaing dengan produk lama kompetitor. Kalkulasi pasar sangat rumit, tetapi dengan team work yang berpengalaman masalah analisis pasar dapat terpecahkan (Pilihlah salah satu team work yang mengetahui analisis ekonomi makro).

b. analisis finansial. Finansial menjadi masalah terberat bagi perencanaan pabrik pakan ternak, hal ini mungkin dipengaruhi karena view public terhadap pabrik pakan ternak masyarakat hanya tertuju pada perusahaan pakan ternak yang memiliki skala besar. Padahal pabrik yang cukup besar seperti PT. JAFPA Comfeed, Tbk atau PT. Charoen Pokphand, Tbk tidaklah secara kedipan mata lalu menjadi perusahaan raksasa di indonesia, tetapi melalui proses yang panjang dan keras. Analisis finansial menjadi juru kunci dari keberhaslan suatu usaha pabrik pakan ternak. Analisis biaya untuk memulai, sumber dana, dan kapan titik impas/ Break event point tercapai menjadi hal yang perlu diperhitungkan sebelumnya.

c. Pemilihan Lokasi. Lokasi menjadi sangat penting, konflik antara masyrakat biasanya terjadi karena kesalahan dalam menentukan lokasi pendirian pabrik pakan ternak. Jarak pasar dan tempat supply bahan baku dari pabrik menjadi modal pertimbangan untuk penentuan lokasi pabrik.

d. pemilihan jenis mesin dan lay out design pabrik pakan ternak. Pemilihan jenis mesin dipengaruhi oleh target produksi dan luas tempat. lay out design pabrik pakan ternak harus memenuhi syarat: 
-Profitability
-Efficiency
-Quality
-Low first cost
-Apperance
-Location
-Expendability
-Storage capacity
-Low maintenance
-Safe working condition
-Flexibility.

      sehingga untuk memenuhi syarat diatas dibutuhkan sebuah teknorat/desginer yang handal. Jika terdapat masalah dalam pendirian dan pengelolaan suatu pabrik pakan ternak maka ada beberapa cara/langkah dasar dalam pengananannya:
1. Proses Penggumpulan Informasi Fakta Lapangan.
2.  Proses Pengolahan Informasi: mengorganisir, menganalisis dan mengevaluasi.
3. Pemberian beberapa kemungkinan solusi terhadap masalah tersebut.
4. Analisis perbandingan terhadap berbagai solusi yang ditawarkan.
5. Keputusan untuk mengambil solusi yang tepat dan terbaik.

Beberapa contoh Jalur alur produksi dan Design Pabrik pakan ternak:
Alur produksi pakan










Mixing: Sebuah Tahapan Proses Fabrikasi Pakan Ternak


Mixing adalah proses pencampuran bahan pakan sesuai dengan formulasi ransum yang akan dibuat, hasil mixing harus bersifat homogen sehingga jika sampel diambil pada suatu titik mixer akan menghasilkan nilai yang refresentatif. Refresentatif memiliki arti bahwa sampel tersebut dapat mewakili data nutrisi dan kualitas hasil mixing tersebut. Homogenitas dari suatu hasil mixing sangat penting. Penambahan antibiotik, hormon, dan additive lainnya dalam jumlah yang relatif sedikit dalam proses mixing harus homogen, hasil mixing yang tidak memiliki homogenitas yang cukup tinggi akan berdampak pada produktivitas ternak, bahkan dapat mengakibatkan kematian jika penambahan obat-obatan dalam proses mixing tidak tercampur secara baik dan optimal sehingga obat-obatan tersebut akan terakumulasi pada suatu titik yang dapat menjadikan overdosis pada ternak nantinya.
Tipe horizontal memiliki kelebihan dibandingkan tipe mesin mixer yang lain. Homogenitas yang lebih seragam dihasilkan dari mesin mixer tipe horizontal. Mesin mixer horizontal memiliki prinsip pencampuran dengan pengaduk yang berputar seperti helix sehingga alir pengadukan menjadi berlawanan antara alir dalam dan luar. Proses mixing dalam proses produksi sangat memegang peranan penting karena kapasitas produksi pakan ternak dalam suatu feedmill sangat dipengaruhi besar oleh kapasitas kinerja mesin mixerFaktor-faktor yang mempengaruhi kerja proses mixing adalah ukuran bahan, jenis bahan, densitas bahan, dan waktu pencampuran. Waktu pencampuran dapat mempengaruhi efisiensi mixing, waktu mixing yang terlalu cepat dapat menyebabkan belum maksimalnya pencampuran sedangkan waktu mixing yang terlalu lama dapat memungkinkan terjadinya segresi (pemisahan partikel). Jenis dan densitas bahan baku dapat berpengaruh dalam urutan pemasukan bahan baku ke dalam mesin mixing. Menurut Soeparjo (2010), urutan bahan baku dapat menyebabkan penyebaran bahan baku selama pencampuran. Mixer mempunyai ambang batas dimana bahan dalam jumlah yang kecil tidak dapat tercampur secara homogen kedalam formulasi.
        Mixing merupakan titik pusat dari proses produksi. Mixing dapat dianggap sebagai “Ibu” dari semua proses produksi. Mixing merupakan operasi dasar dari suatu feed manufacturing yang sangat dibutuhkan. Pakan komplit yang merupakan campuran bahan pakan harus melalui proses mixing. Keseragaman harus dihasilkan dari proses mixing untuk memaksimalkan penggunaan nutrient. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan, produksi, kesehatan maka ternak haruslah mendapatkan pakan yang seimbang asupan nutrisi, feed additive pada konsentrasi yang diinginkan. Homogenitas yang sempurna merupakan hal yang sangat diharapkan dari proses mixing. Penggunaan indikator merupakan salah satu pengujian homogenitas. Indikator yang digunakan merupakan bahan baku yang digunakan dalam jumlah yang cukup sedikit dalam formulasi. Indikator seperti garam merupakan salah satu bahan yang biasa digunakan dalam pengujian homogenitas. Sampel yang mengandung garam dalam formulasinya  diuji dengan menggunakan teknik pengujian Na (sodium). Teknik pengujian kadar garam dapat menggunakan teknik Na ataupun Cl. Konsentrasi garam dan variasi antar sampel dihitung untuk menghasilkan koefisien keragaman (Coefficient Of Variation). Pencampuran yang baik adalah nilai CV dibawah 10%. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan jika nilai CV lebih dari 10% adalah dengan menambah waktu mixing  



Mesin Mixer horizontal
Tampak Dalam Ribbon (pengaduk) Mixer horizontal

Aliran pakan di dalam mixer horizontal
Alir pakan di dalam mixer vertikal
Tampak luar mesin mixer vertikal.



FEED MANUFACTURING: Quality Control of Raw Material in Animal Feed

INDUSTRI PAKAN TERNAK: Kontrol Kualitas Bahan Baku Pakan

        Industri pakan terna merupakan bagian dari suatu mata rantai pada sektor peternakan. keberhasilan sektor peternakan salah satunya ditentukan oleh ketersediaan pakan ternak. pakan ternak yang tersedia bukan hanya dari segi kuantitas saja, tetapi juga dari segi kualitas. Produsen pakan ternak wajib menghasilkan dan mempertahankan kualitas ransum yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Produsen harus menjamin bahwa ransum yang dihasilakn tidak membahyakan kesehatan ternak dan manusia sebagai konsumen produk peternakan.
          Produsen harus menjamin bahwa semua bahan baku telah memenuhi standar kualitas, tidak terdapat benda asing pada bahan baku, butiran dan bahan lain mempunyai ukuran dan bentuk yang sesuai, ransum diproduksi sesuai formulasi, pellet dan crumble mempunyai ukuran yang sempurna dan ketahanan yang sesuai standar,  tidak terdapat mikroorganisme patogen, serta kualitas pakan sesuai dengan permintaan konsumen.
           Langkah awal program penjaminan kualitas adalah melalui pengawasan mutu. pengawan mutu dilakukan pada setiap aktivitas dalam menghasilkan produk mulai dari bahan baku, proses produksi hingga produk akhir. Bahan baku yang digunakan sebagai Input dalam industri pakan ternak diperoleh dari berbagai sumber, mempunyai kualitas yang sangat bervariasi. bervariasinya kualitas bahan baku disebabkan oleh variasi alami, pengolahan, pencampuran, dan penurunan kualitas.
               variasi alamin dan pengolahan bahan baku dapat disebabkan kandungan zat makanan yang berbeda. bahan baku sering terkontaminasi atau sengaja dicampur dengan benda-benda asing sehingga perlu adanya pengecekan kualitas. Penurunan kualitas dapat juga terjadi karena penanganan, pengolahan atau penyimpanan yang kurang tepat. Kerusakan dapat terjadi karena serangan jamur akibat kadar air yang tinggi, ransiditas dan invasi/serangan serangga. Pengawasan mutu bahan pakan harus dilakukan secara ketat saat penermaan dan penyimpanan. pemilihan dan pemiliharaan kualitas bahan baku menjadai tahapan yang sangat penting dalam menghasilkan produk ransum yang berkualitas tinggi.
                 Tindakan sangat penting dalam pengawasan mutu bahan baku adalah pengambilan sampel. Laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan canggih dan didukung dengan tenaga ahli, tidak akan mampu memberikan data yang akurat tanpa didukung teknik penyiapan dan pengambilan sampel yang tepat. Teknik, jumlah dan peralatan yang tepat diperlukan untuk memperoleh sampel yang refresentatif.
Gambar. Mesin Near Infra Red/NIR (kiri), kotak tempat sampel analisis (kanan)

Jumat, 05 April 2013

Majalah-Majalah Teknologi dan Fabrikasi Pakan Ternak

Majalah yang berhubungan dengan Teknologi dan Fabrikasi Pakan Ternak :
1.All About Feed  http://www.allaboutfeed.net/digital-magazine/magazine-3/
2.American Feed Industry Associaation http://www.afia.org/Afia/NewsAndPress/AFIAJournal.aspx
3. Animal Feed Manufacturers Association http://www.afma.co.za/Matrix.htm
4. Positive Action Publication (Food Hygiene, Hatchery practice, Meat Topic, Pig Topic, Dairy Topic, Poultry production) http://www.positiveaction.info/

Silage: Lactic Acids Fermentation


Introduction
Forage fodder has a very important meaning to the lives of ruminants. the availability of Forage is strongly influenced by seasonal factors. The dry season that struck the country of Indonesia became the main factor that causes stockpile the feed of forage crop for ruminants is limited, plant growth is disturbed, quantity and quality of the forage decreases, in some area forage plants cease to grow or oven die. Animal performance in dry season is poor because quality of forage is poor too. At rain fall season the forage have high production. For availability forage during the year, needed technology of stroge and preservation forage with nutrition of quality almost same. Silage one of technology have purpose for preservation forage, till amount forage as sources of fiber feed is sufficient.
Fermentation Lactic acids at Silage
The Fermentation can increase availability of nutrient such as protein , energy, with process break down complex component into simple component (Kompiang et al. 1994). Fermentation is the process biological for convertion complex structure thus be simple structure, till the digestibility of livestock more efficient (Hanafi, 2008). Silage is Feed of forage preservation with anaerobic fermentation process, have moisture 40-70%. Result of silage can be stored without break down nutrition essential in containing of forage.
Stefani et al. (2010), The ensiling process can be divided into 4 stage: aerobic phase, fermentation phase, stable phase, and feed out phase or aerobic spoilage phase.to avoid failures, it is important to control and optimize each phase of the ensiling process. In aerobic phase, good silo filling tehniques will help to minimize the amount of oxygen present between the plant particles in the silo. Good harvesting techniques combined with good silo filling tehniques will thus minimize water soluble carbohydrate (WSC) losses through aerobic respiration in the field and in the silo, and in turn will leave more WSC available for lactic acid fermentation in fermentation phase.

The quality of silage depends on the speed of fermentation process resulting lactic acid till depresses pH to approximately 4, at wich point baterial pathogens growth is inhibited. Using additive silage often used to supporting enhancement accumulation lactic acid at ensiling. Various of additive silage can be devided 2 group: fermentation stimulant and fermentation inhibitor.
Factor affecting of lactic acids productions: amount inoculum, time of incubation, amount substrat, type of plant and treatment before ensiling. Amount inoculum, adding lactic acids bacteria to ensiling Pennicetum purphoides can be improve quality silage with shown decrease pH and concentration N-NH3  significantly, and increase lactic acids from Fleigh value significantly than control.   Antaribaba et al. (2009), adding lactic acids with doses 3% (v/b) resulting silage quality more better than 2 and 4 % (v/b). 
The Production of lactic acids which yielded with addition lactic acid inoculums more better than without addition inoculums. R0 (without inoculums), R1 (inoculums 2%), R2 (inoculums 3%), R3 (inoculums 4%). Concentration of VFA composing  acetic, propionic, butyric acid  representative of it isn’t efficiency fermentation or secunder fermentation.
            Amount lactic acid bacteria at early time of incubation as importance factor can be determine for resulting quality of silage (Santoso et al.,2008). Population of lactic acid bacteria must be measured for efficiency fermentation, till many of research have purpose to looking for doses adding lactic acid in ensiling. Native population lactic acid there are forage, but various quantity.  Concept of adding lactic acid bacteria to improve growth of lactic acid homofermentation can be producing lactic acid for decrease pH. Basic charactersitic of inoculums lactic acid for using in ensiling are can be adaptation in substrat with high moisture, can be adaptation temperature of environment, tolerant with acids condition, producing bacteriocyn, and have role as probiotic.
Time of incubation. Period of fermentation is one of importance factor to establish the time of feed out from silo. Thalib et al. (2000), using inoculums from buffalo rumens, quality of straw silage at anaerobic condition during 2 week have criteria as good silage
Amount of substrat. Ensiling is fermentation of glucose for converting to lactic acid, in there process have needed glucose as substrat (Water soluble carbohydrate). Minimum amount of water soluble carbohydrate to supporting fermentation process worked is approximately 3-4% Dry Matter. Species of tropical forage have low content of WSC until for reaching WSC becoming is very suggested. 

Literature cited 
Antaribaba, M. A., N. K. Tero, B. T. Hariadi, dan B. Santoso. 2009. Pengaruh taraf inokulum bakteri asam laktat dari ekstrak rumput terfermentasi terhadap kualitas fermentasi silase rumput raja. JITV Vol 14(4):278-283.
Hanafi, N.D. 2008. Teknologi Pengawetan Pakan Ternak. Departemen Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kompiang, L.P., J. Dharma, T. Purwadaria, A. Sinurat, dan Supriyati. 1994. Protein enrichment: Study cassava enrichment melalui bioproses biologi untuk ternak monogastrik. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 1993/1994. Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.  
Santoso, B., B. T. Hariadi, H. Manik, dan H. Abubakar. 2008. Kualitas rumput unggul tropika hasil ensilase dengan bakteri asam laktat dari ekstrak rumput terfermentasi. Media peternakan Vol 32(2):137-144. 
Stefani, J. W. H., F. Driehuis, J. C. Gottschal, and S. F. Spoelstra.  2010. Silage fermentation processes and their manipulation: 6-33. Electronic conference on tropical silage. Food Agriculture Organization. 
Thalib, A., J. Bestary., Y.widyawati, dan D. Suherman. 2000. Pengaruh perlakuan silase jerami padi dengan mikrobia rumen kerbau terhadap daya cerna dan ekosistem rumen sapi. JITTV Vol 5(1): 276-281




Rabu, 27 Maret 2013

Gelatinisasi: Tahapan pada proses Steam Conditioning (Pemberian Uap bertekanan) ataupun pada proses Extrusion


Steam Conditioning menjadikan pakan yang memiliki pati akan mengalami proses gelatinisasi. Menurut California Pellet Mill Coo (2000), bahwa gelatinisasi didefinisikan sebagai Proses pemecahan sempurna pada granula pati dengan kombinasi air, panas, dan tekanan serta mekanisme shear. Umumnya hasil gelatinisasi memiliki dua hal yang sangat penting untuk pencernaan, yaitu a.) proses gelatinisasi meningkatkan kemampuan pati untuk diserap serta fraksi yang lain sehingga mempengaruhi feed convertion ratio. b.) proses gelatinisasi meningkatkan kecepatan enzim untuk mendegradasi substrat pada ikatan pati, sehingga menjadi molekul sederhana yang lebih soluble.
Suhu conditioning yang terlalu tinggi dapat menyebabkan reaksi Maillard, reaksi Maillard yaitu reaksi interaksi antara senyawa protein dan karbohidrat, hasil reaksi ini menyebabkan protein akan sangat sulit untuk terdigesti di usus halus dan termanfaatkan oleh tubuh ternak. Menurut Stark and Ferket (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi steam conditioning ukuran partkel bahan, retention time, sudut pengaduk, kecepatan pada saat di terowongan, dan penambahan air.
Proses pemberian uap dengan tekanan  memiliki pengaruh terhadap perubahan sifat nutrient seperti pati, protein. Granula pati akan membengkak dan putus, meningkatnya solubiitas, berkurangnya viskositas pati dan menghasilkan amilosa dan amilopektin. Ketika proses pemberian uap dengan tekanan terjadi pada kandungan air bahan baku rendah maka akan terjadi fragmentasi granula pati dan akan menmbuat suatu formasi fase homogenitas yang biasa disebut gelatinisasi. pemberian uap dengan tekanan memiliki  pengaruh terhadap lipid untuk  menginaktifkan lipase dan lipoxidase yang hadir dalam bahan baku, sehingga mengurangi terkadinya oksidasi asam lemak selama penyimpanan. Perlakuan panas selama proses dapat menyebabkan inaktifnya protein ataupun denaturasi protein, sehingga panas yang dihasilkan diharapkan tidak merusak asam amino ataupun membuat reaksi Maillard. Panas yang cukup pada proses pemberian uap dengan tekanan akan menigkatkan kecernaan protein dan ketersediaan asam amino sulfur melalui dua cara yaitu, panas akan membentangkan globulin biji dan panas juga akan menginaktifkan tripsin inhibitor dan lectin.


Pelleting: Proses Produksi Fabrikasi Pakan Ternak


        Pelleting adalah suatu proses menggabungkan campuran beberapa bahan pakan secara mekanik dengan  tekanan tertentu, campuran bahan pakan diberikan tekanan secara mekanik akan melalui die sehingga menghasilkan Agglomerated feed yang kompak. Keuntungan pakan berbentuk pellet adalah mengurangi debu, mengurangi sifat memilih ternak, menyeragamkan kandungan nutrisi, dan meningkatkan produktivitas ternak serta meningkatkan density sehingga mempermudah dalam penanganan dan penyimpanan. Menurut Baudon dan Hancock (2003), pakan pellet memiliki keunggulan dibanding pakan berbentuk mash yaitu dapat meningkatkan kecernaan Dry Matter, Nitrogen, dan Gross Energy serta menurunkan ekskresinya pada ternak babi, sehingga menghasilkan peternakan yang ramah lingkungan.
            Mesin pelleting terbagi menjadi beberapa bagian utama yaitu feeder, conditioning chamber, dan pelleting device. Feeder berfungsi untuk mengatur rata-rata aliran yang masuk ke mesin pelleting, conditioning chamber berfungsi untuk memberikan steam ke campuran bahan pakan, pelleting device berfungsi untuk membentuk campuran bahan pakan menjadi pakan berbentuk pellet yang kompak. Pemberian steam (uap air) pada proses conditioning berfungsi meningkatkan gelatinisasi pati, meningkatkan Pellet Durability Index (PDI), mengurangi jumlah mikroorganisme patogen serta menghancurkan telur serangga. Plattner and Rockey (2006), pemberian conditioning pada bahan pakan dapat menurunkan total mikrobia.




Minggu, 24 Maret 2013

Tim Audit Internal PT. Charoen Pokphand Indonesia

Foto bersama Penulis (Askari Zakariah) bersama rekan-rekan PKL dan Tim Audit Internal PT. Charoen Pokphand 




Sabtu, 23 Maret 2013




EFEK PEMBERIAN TANIN TERHADAP FERMENTASI RUMEN


              Pakan utama ternak ruminansia, hijauan atau limbah pertanian seperti jerami padi,  memiliki kadar serat kasar yang tinggi. Komponen terbesar dari serat kasar adalah berupa dinding sel yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Produk akhir dari aktivitas mikroba dalam mendegradasi substrat dinding sel tanaman adalah berupa asam lemak terbang (VFA). Komponen VFA yang utama adalah asam asetat, asam propionat, asam butirat, dan sejumlah kecil asam valerat. Selain menghasilkan asam lemak rantai pendek (short-chain fatty acid-SCFA), fermentasi karbohidrat dalam rumen akan menghasilkan sejumlah gas dan sel mikroba.
           Asam lemak terbang yang dihasilkan dari fermentasi karbohidrat merupakan sumber energi bagi ternak inang. Pada proses fermentasi ini juga dihasilkan produk-produk yang tidak berguna bagi ternak seperti CH4, ammonia, dan nitrat. Usaha-usaha peningkatan efisiensi penggunaan energi dari pakan telah banyak dan terus dilakukan, salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan cara manipulasi proses fermentasi yang terjadi dalam rumen dalam cara mengubah ekologi rumen yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan produk fermentasi yang diharapkan dan dapat menekan hasil fermentasi yang kurang bermanfaat.
            Manipulasi rumen dengan memproteksi protein dan tanin dengan kadar tanin tertentu dapat meningkatkan produksi ternak ruminansia. Kadar tanin yang digunakan harus dapat lepas pada saat memasuki kompleks intestinum sehingga dapat diabsorbsi. Protein yang seharusnya diproteksi adalah protein yang berkualitas. Protein yang berkualitas memilki susunan asam amino esnsial dan dapat terabsorbsi.
              Tanin merupakan senyawa polifenolik dengan bobot molekul yang tinggi dan mempunyai kemampuan mengikat protein. Tanin terdiri dari katekin, leukoantosiannin dan asam hidroksi yang masing-masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam. Tanin terdiri dari dua kelompok, yaitu condensed tanin dan hydrolizeable tanin. Kelompok condensed tanin merupakan tipe tanin yang terkondesasi,tahan terhadap degradasi enzim, tahan terhadap hidrolisa asam, dimetilasi dengan penambahan metionin. Condensed tanin diperoleh dari kondesasi flavanol-flavanol yang tidak mengandung gula dan mengikat protein sangat kuat sehingga menjadi rusak ( Widodo, 2005 ).

Gambar. Struktur Tanin
Tanin dapat berpengaruh terhadap ternak ruminansia semenjak bahan pakan yang mengandung tanin dikonsumsi, perlu diketahui bahwa tanin merupakan metabolite skunder yang ekskrsikan untuk sistem proteksi, sistem proteksi dengan mekanisme pengikatan protein menjadikan protein akan sukar terdegradasi. Menurut makkar (1993), tanin dapat menonaktifkan enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikrobia rumen, disamping dapat mengakibatkan keracunan bagi mikrobia. Hal ini mungkin diakibatkan oleh ikatan antara lain dengan dinding sel yang dapat mengganggu permiabilitas dinding sel mikrobia tersebut.
Tanin dapat berfungsi untuk memproteksi protein dengan kadar dan konsentrasi tertentu. Menurut Suryahadi et al., (2000), meode ini dikenal sebagai metode by passing dimana zat makanan dilindungi dari proses degradasi oleh mikrobia rumen karena degradasi oleh mikrobia rumen dapat menurunkan suplai zat makanan yang dapat dimamfaatkan langsung oleh hewan inang. Menurut Nyachoti et al ( 1997), interaksi tanin dengan protein terjadi melalui ikatan kovalen. Setiap intraksi protein-tanin memperlihatkna kinetic yang berbeda-beda tergantung pada struktur tanin,  pH dan senyawa lainnya. Komposisi dan polimerasi tanin merupaan faktor penting dalam menentukan kemampuannya membentuk kompleks tanin dan protein.

Daftar pustaka
Makkar, H. P. S. and K. Bukker. 1995. Degradation of condesed tannins by rumen mikrobes exposed to quebracho tannins (QT) in rumen simulation technique (RUSITEC) and effect of  QT on fermentative processes in the RUSITEC. J. Sci. Food Agric. 69: 495-500.
Nyachoti, C. M., J. L, Atkinson and S. Lesson. 1997 Shorgum tannins: a review. World’s journal poultry sci. 53:5-21.
Suryahadi, F. Y., 1995. Studi Awal terhadap kandungan protein, tanin dan serat detergen netral daun Caliandra colotyhrsus dengan perlakuan poliethilina glikol dan kapur dalam saluran pencernaan kelinci. FMIPA. Universitas Pakuan. Bogor
Widodo, W. 2005. Tanaman beracun dalam khidupan ternak. UMM Press. Malang.

Sistem Agroforestry (Pola Pertanian Terpadu) Di Daerah Istimewa Yogyakarta




PENDAHULUAN
             Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam sebuah peternakan. Biaya untuk pakan sebesar 70-80% dari biaya produksi, sehingga dirasa perlu adanya perhatian dalam persedian pakan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tanaman hijauan pakan untuk ternak ruminansia menjadi point central demi tercapainya swasembada daging sapi dan kerbau 2014. Kebutuhan pokok konsumsi tanaman hijauan untuk setiap harinya berkisar 10% dari berat badan ternak, sehingga dirasa perlu untuk meningkatkan produktivitas suatu lahan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Menurut (Sunarminto, 2010) sukses tidaknya industri peternakan di Indonesia, khususnya industri ternak ruminansia tergantung pada beberapa faktor. Salah satu faktor yang sangat penting adalah pengemabangan tanaman untuk penyedian pakan utamanya yang berupa hijauan.
          Semakin menyempitnya lahan pertanian subur karena banyak digunakan sebagai pemukiman, perkantoran, maupun fasilitas umum lainnya, menyebabkan perlunya upaya pemanfaatan lahan kering secara lebih intensif untuk budi daya tanaman pangan, perkebunan dan tanaman pakan serta peternakan. Perlunya peningkatan produktivitas untuk mendukung ketersediaan pakan sepanjang tahun.




TINJAUAN PUSTAKA
           Struktur lahan di daerah pantai berbeda dengan di daerah pengunungan, demikian pula susunan vegetasinya di kota berlainan dengan di daerah pedesaan. Umumnya struktur vegetasi lahan terutama pekarangan di pedesaan mempunyai keanekaragaman tanaman yang besar, mulai dari tanaman yang tumbuh menjalar diatas permukaan tanah sampai tanaman yang mempunyai tinggi lebih besar dari 20 meter (Karyono,1980). Budidaya lorong (alley cropping) dengan menggunakan leguminosa sebagai tanaman pagar (misalnya lamtoro) dinilai mampu meningkatkan keberadaan bahan organik tanah.  Pada lahan kering di daerah beriklim kering, pengembangan usaha tani diarahkan untuk memanfaatkan lahan datar di pelembahan, dengan kendala populasi gulma yang tinggi.  Pada kondisi demikian tampaknya sistem tumpang sari dan introduksi tanaman tahunan cukup memberikan harapan. Menurut Beets (1982), pola tanam tumpangsari adalah bentuk pertamanan campuran antara jenis – jenis tanaman yang ditanam dalam jarak dan baris – baris yang teratur. Salah satu bentuk pola tanam tumpangsari termasuk juga pertamanan campuran antara tanaman ekonomi dengan tanaman makanan ternak (Humphreys, 1979).
            Edris dan soessono (1987), komposisi jenis merupkan susunan dan jumlah jenis yang terdapat dalam komunitas tumbuhan. Untuk mengetahui komposisi jenis suatu tegakan, maka identifikasi jenis, jumlah serta susunannya menjadi hal yang wajib yang tak boleh dilupakan. Menurut Mahendra (2009), komposisi jenis pada pekarangan/ hutan tanaman merupaka komposisi yang disengaja, artinya jenis-jenis yang ditanam di pekarangan/ hutan tanaman merupakan jenis-jenis yang terpilih, sesuai keinginan pemilik. Akibat pemilihan jenis ini, maka terjadi kekhasan yaitu cendrung pada jenis-jenis ang bermamfaat dan memilki nilai ual tinggi.
Menurut Soetikno (1990), vegetasi menggambarkan perpaduan berbagai jenis tanaman di suatu wilayah atau daerah. Suatu tipe vegetasi menggambarkan suatu daerah dari segi penyebaran tumbuhan yang ada baik secara ruang maupun waktu. Menurut mahendra (2009), penerapan sistem agroforestry membuat struktur dan komposisi jenis suatu kawasan menjadi berbeda. Hal ini bisa kita bandingkan dengan tegakan murni atau penanaman dengan monokultur. Komposisi jenisnya pasti akan berbeda. Sistem agroforestry yang meniru hutan alam, memilki jenis yang beragam, struktur vegetasinya pun bisa mendekati hutan alam. Kelimpahan seedling, sapling, poles dan treesnya semakin tinggi seiring dengan pertamabahan fase agroforestrinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
           Secara umum sistem agroforestry pada suatu daerah tidak dapat langsung ditiru, meskipun perkembangannya ditempat asalnya sangat maju. Hal ini disebabkan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi bentuk agroforestry yang akan diterapkan disuatu daerah sistem agroforestry yang baik adalah sistem yang bersifat produktif, sustainable dan bisa diadopsi oleh warga pada suatu daerah. Sistem Agroforestry merupakan alternatip pengembangan pertanian lestari di lahan kering dataran tinggi perlu mendapat perhatian, serta kesungguhan untuk dicoba penerapannya dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan kesejahteraan keluarganya. Sistem agroforetry yang berprinsip LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) memanfaatkan bahan lokal, benih lokal, teknologi lokal, dan kearifan lokal sangat dapat berkembang baik disuatu wilayah

              Fungsi agroforestry pada suatu daerah akan pasti berbeda. Secara kesuluruhan peran agroforestry dalam ekosisitem menurut mahendra (2009) adalah menjaga kestabilan ekosisitem ditandai dengan keanekaragaan hayati yang tinggi, menjaga kestabilan tanah dan ketersediaan unsure hara dalam tanah, menjaga tata air dan ketersedian air tanah untuk proses fisiologi tanaman, memperbaiki struktur tanah, meminimalisisr dampak pemanasan global, meninkatkan swasembada dan mengurangi resiko hilangnya pendapatan karena pengaruh pasar atau biologi pada tanaman tertentu. 
          Penerapan agroforestry memiliki dua sisi yaitu sisi ekologi dan ekonomi, sehingga aspek pemilihan dan rencana jangka panjang akan menentukan yang dominan diantara keduanya. Banyak kasus dilapangan seperti over logging dan over area sering terjadi karena kurang memperhatikan aspek ekologi. Pendekatan ekonomi menjadikan produksi tanaman pokok yang ditanam untuk dijual akan dominan disuatu lahan menggeser tanaman kayu. Kondisi dan pengetahuan petani akan mempengaruhi penerapan agroforestry yang akan diterapkan. Pola tanam pada suatu daearah akan berbeda dengan daerah lain. Hal ini dipengaruhi oleh jenis tanaman yang ditanam, kontur tanah, dan lain-lain. Menurut Mahendra (2009), sistem agroforestry memilki pola tanam tertentu dalam mengkombinasikan komponen penyusunnya dalam satu ruang dan waktu. Pola ini dibentuk agar tidak terjadi interaksi negative antar komponen penyusunya. Interaksi negative dapat berupa kompetisi antar tanaman. 
        




                                    Gambar 1. Pola tanam Random pada dataran tinggi

            Pola tanam pada dataran tinggi yang diamati ada dua yaitu random dan  alley cropping. Pola tanam random terbentuk karena tidak adanya perencanaan awal dalam tata letak dan guna lahan. Para petani dengan bebas menanam tanaman disuatu lahan tanpa memperhatikan pola tanam. Pola tanam alley cropping pada dataran tinggi berfungsi untuk mengurangi laju air pada saat hujan,sehingga mengurangi erosi, hilangnya unsur hara tanah, meningkatkan daya ikat air oleh tanah.Menurut Huke dan Plecan (1992), keuntungan dari pola alley cropping adalah melindungi tanaman dari angin kencang dan cahaya yang berlebihan, menghasilkan pakan ternak dan konservasi tanah. 



                            Gambar 2. Pola tanam Alley cropping pada dataran tinggi

            Pola tanam alley cropping yang terlihat pada gambar diatas memiliki komponen berupa tanaman jagung dan kedelai. Kedelai merupakan salah satu tanaman penambat nitrogen, hampir tidak ada tanaman dapat tumbuh tanpa adanya nitrogen (N) dan kebanyakan tanah di daerah tropis telah diketahui memiliki cadangan N rendah. Namun, tidak demikian halnya dengan tanaman penambat N, mereka semata-mata tidak tergantung dengan cadangan N dalam tanah tetapi mereka mampu menambatnya melalui simbiosis dengan mikroba tanah.  Oleh karena itu beberapa spesies tanaman penambat N menjadi penting bagi kelangsungan hidup keluarga pedesaan di daerah tropis sebagai penyedia berbagai produk dan jasa. Karda dan Spudiati (2012) melaporkan berbagai fungsi tanaman penambat N antara lain sebagai sumber kayu api dan arang, pakan, penyubur tanah, kayu bangunan dan sebagai pangan untuk manusia.
            Pola tanam pada dataran rendah dan daerah pesisir pantai memiliki pola yang sama yaitu Trees along border, hal ini dimungkinkan karena berfungsi sebagai pelindung. Daerah pesisir pantai sangat membutuhkan pelindung, angin yang berasal dari arah pantai akan membawa molekul-molekul garam yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman bahkan mematikan. Agen wind break sangat diperlukan seperti tanaman cemara ekor udang dan pandan. Untuk mencapai keberhasilan usaha tani berkelanjutan di lahan kering perlu memperhatikan beberapa faktor yang mendukung peningkatan produksi serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan.  Peningkatan produksi di lahan kering dapat dicapai melalui cara budidaya tanaman yang tepat seperti : diversifikasi tanaman (multiple cropping), penggunaan varietas unggul, pengolahan tanah yang tepat, pola tanam sesuai ekosistem, pemupukan, pengelolaan air, pengendalian hama terpadu, pengendalian gulma, serta upaya konservasi tanah dan air. Pola Trees along border sangat cocok untuk dikombinasikan dengan tanaman cemara ekor udang yang berfungsi sebagai melindungi dari uap garam yang dapat menghambat tanaman pokok.
Gambar 3. Pohon cemara ekor udang (kiri), pandan yang mengililigi lahan (kanan)

            Tanah pada daerah pesisir yang berpasir menyebabkannya tidak subur dan mendukung pertumbuhan tanaman maka perlu penambahan bahan organic pada lahan tersebut, biasanya ditambahkan biomulsa dan pupuk organic. Upaya untuk meningkatkan manfaat ternak sapi adalah mengusahakannya secara terpadu dengan tanaman atau dikenal dengan sistem integrasi tanaman-ternak.  Sistem ini memberikan keuntungan kepada petani-peternak karena : 1) pupuk kompos dari kotoran ternak sapi dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai sumber pendapatan, 2) ternak dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja dan juga sumber pendapatan bila disewa oleh petani lain yang tidak memiliki ternak sapi, 3) limbah tanaman pokok bermanfaat  sebagai pakan sehingga mengurangi biaya penyediaan pakan (Elly et al., 2008).
Ada tiga komponen teknologi utama dalam sistem integrasi tanaman-ternak di lahan kering : (a) teknologi budidaya ternak; (b) teknologi budidaya tanaman; (c) teknologi pengolahan limbah pertanian untuk pakan dan pembuatan kompos.  Teknologi dalam budidaya ternak adalah pengandangan ternak dalam pola kelompok, yang dibarengi dengan penerapan teknologi pemeliharaan ternak, termasuk strategi pemberian pakan.  Teknologi budidaya tanaman yang biasa diusahakan di lahan kering berupa sistim tumpang sari.  Teknologi pengolahan limbah pertanian sebagai pakan ternak menjadi salah satu kunci keberhasilan sistem integrasi tanaman-ternak, disamping teknologi pengolahan dan pemanfaatan kompos untuk meningkatkan kesuburan lahan.  Agar komponen teknologi tersebut dapat diintegrasikan secara sinergis, maka pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak dilakukan dengan pendekatan kelembagaan sebab kalau diserahkan kepada petani secara perorangan tidak akan menguntungkan mengingat penguasaan lahan yang sempit dan pemilikan ternak yang terbatas (Haryanto et al., 2002 cit Sukar et al., 2005). 





KESIMPULAN
            Sistem agroforstry yang akan dilakukan pada suatu daerah seharusnya memperhatikan berbagai aspek khususnya kearifan lokal setempat, dan harus memperhatikan produktivitas, keberlanjutan dan adoptable. Pemilihan arah agroforestry dipikirkan secara tepat dan teliti, antara ecomic approach atau ecology approach. Penyusunan pola tanam pada sistem agroforestry akan dipengaruhi oleh fungsi tata guna lahan, kondisi dan letak lahan. Jenis vegetasi yang akan menjadi komponen dalam sistem akan sangat ditentukan oleh Iklim dan jenis tanah yag terdapat pada daerah tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Edris, I. dan Soeseno, O.Silvika. Fakultas Kehutanan. Yogyakarta.
Elly, F.H., B.M. Sinaga, S.U. Kuntjoro, dan N. Kusnadi.  2008.  Pengembangan Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Jurnal Litbang Pertanian,        27 (2).
Humphreys, L. R. 2005. Tropical Pasture Utilitisation. Cambridge university press.  Cambridge.
Karda, I.W. dan Spudiati.  2012.  Meningkatkan Produktifitas Lahan Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pakan dan Ternak Ruminansia.  Fakultas Peternakan Universitas Mataram.  ntb.litbang.deptan.go.id diakses tanggal 1 juli 2012.
Karyono. 1980. Pengalaman dengan agroforestry di jawa, indonesia. Fakultas kehutanan. Yogyakarta.
Mahendra, F. 2009. Sistem Agroforestri . Graha Ilmu. Yogyakarta
Soetikno, S. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sukar, W.I. Werdhani, dan Soeharsono.  2005.  Sistem Integrasi Tanaman-Ternak di Lahan Kering.  Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.
Sunarminto, B. H. 2010. Pertanian Terpadu Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional. BPFE UGM. Yogyakarta.





(Pengarahan Singkat dari Prof. Dr. Ir. Soemitro P, M. Sc, dan Bambang Sowiegnyo S. Pt, M.Sc, Ph. D kepada penulis dan rekan-rekan penulis, sebelum pengambilan data)

Fungsi Membran Untuk Proses Transpor Dan Peran Kestabilan Membran Pada Mikrobia Dalam Suhu Ekstrim




1.    Fungsi membran dalam proses transpor nutrien
Membran plasma atau membran sel tersusun atas molekul lemak dan protein. Molekul lemak terdiri atas dua lapis, terdapat di bagian tengah membran. Di sebelah luarnya terdapat lapisan protein perifer (protein tepi), yang menyusun tepi luar dan dalam membran. Selain protein perifer, terdapat pula molekul-molekul protein tertentu yang masuk ke dalam lapisan lemak. Bahkan ada yang masuk hingga menembus dua lapisan lemak. Protein yang masuk ke lapisan lemak itu disebut protein integral.
Suatu membran tetap berwujud fluida begitu suhu turun, hingga akhirnya, pada beberapa suhu kritis, fosfolipid mengendap dalam suatu susunan yang rapat dan membrannya membeku, seperti halnya minyak babi yang membentuk kerak lemak ketika minyaknya mendingin. Suhu beku membran tergantung pada komposisi lipidnya. Membran tetap berwujud fluida pada suhu yang lebih rendah jika membran itu mengandung banyak fosfolipid dengan asam lemak tak jenuh.
Bilayer lipid merupakan penyusun utama dari membran, tetapi protein yang menentukan fugsi spesifik membran. Terdapat dua lapisan utama protein, yaitu protein integral dan poriferal. Protein integral umumnya merupakan protein transmembran, dengan daerah hidrofobik yang seluruhnya membentang sepanjang interior hidrofobik membran tersebut. Daerah hidrofobik protein integral terdiri atas satu atau lebih rentangan asam amino non polar yang biasanya bergulung menjadi heliks α. Ujung hidrofilik molekul ini dipaparkan ke larutan aqueous pada kedua sisi membran. Protein poriferal tidak menembus lipid bilayer, biasanya berada pada di salah satu permukaan.
Fungsi protein membran :
a.    Fungsi transpor material, protein integral yang membentang sehingga menembus lipid bilayer menjadi saluran hidrofilik sehingga material/nutrien dapat melewati membran sel yang bersifat spesifik. Protein membran dapat berfungsi sebagai pembawa (carrier) senyawa-senyawa yang melewati membran baik secara difusi atau transport aktif.  Protein yang ada di membran dapat menghasilkan ATP untuk digunakan sebagai energi untuk memompa bahan nutrien ke dalam sel(contohnya mineral Na dan K).
b.    Aktivitas enzimatik, salah satu penyusun membran adalah protein yang salah satu sisi aktifnya dapat menjadi enzim, sehingga diketahui terjadi banyak proses enzimatik yang terjadi di sekitar membran sel.
c.    Pemberiaan sinyal, protein dapat membentuk menjadi senyawa yang spesifik sehingga menjadi sinyal/penanda.
Beberapa metode/cara yang digunakan untuk melakukan transpor nutrien sebagai berikut :
a.    Difusi sederhana, molekul yang dapat melewati membran dengan bebas adalah air, oksigen dan karbondioksida. Difusi sederhana ini memiliki ciri pergerakan molekul dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (menurut gradien konsentrasi). Mikromolekul dalam bentuk hidrofobik dapat melewati plasma dengan mudah, sedang makromolekul dan bentuk ion sulit melewati membran plasma.  Molekul yang hidrofobik dengan mudah melewati lapisan lemak karena larut dalam lemak atau pori pada lapisan lemak. 
b.    Difusi dengan adanya carrier/pembawa, yaitu difusi yang memerlukan penggandeng (carrier) dan bukan memerlukan ATP dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Gerakan transport ini lebih cepat dibandingkan difusi sederhana.  Molekul yang membawa adalah protein, karena protein mempunyai bagian tertentu yang dapat menggandeng  dengan molekul yang diangkut.
c.    Transpor aktif, yaitu perpindahan molekul dengan adanya bantuan energi sehingga dapat memindahkan nutrien dari gradien rendah ke tinggi.
Gambar. Membran Sel Bakteri Gram negatif dan Positif



2.    Peran membran pada mikrobia yang dapat tahan suhu ekstrim (suhu tinggi ataupun suhu rendah)
Derajad ketidakstabilan membran tergantung pada tingkat kejenuhan asam lemak.  Asam lemak jenuh akan memberikan sifat yang kaku, berbeda dengan asam lemak yang tidak jenuh akan memberikan struktur yang lebih cair.  Selain itu fluiditas membran juga dipengaruhi oleh suhu, dimana sel yang hidup pada daerah suhu yang rendah mempunyai asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibanding dengan sel yang hidup pada suhu tinggi.
Proses metabolisme yang terjadi dalam sel mikrobia terjadi secara enzimatik, protein merupakan penyusun dari enzim, protein sangat peka oleh faktor suhu sehingga terdapat titik optimal enzim dapat bekerja. Mikrobia yang dapat tumbuh di suhu rendah menunjukkan bahwa enzim yang dimiliki oleh mikrobia tersebut optimal pada suhu tersebut.