PENDAHULUAN
Pakan merupakan faktor yang
sangat penting dalam sebuah peternakan. Biaya untuk pakan sebesar 70-80% dari
biaya produksi, sehingga dirasa perlu adanya perhatian dalam persedian pakan
baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tanaman hijauan pakan untuk ternak
ruminansia menjadi point central demi
tercapainya swasembada daging sapi dan kerbau 2014. Kebutuhan pokok konsumsi
tanaman hijauan untuk setiap harinya berkisar 10% dari berat badan ternak,
sehingga dirasa perlu untuk meningkatkan produktivitas suatu lahan untuk
mencukupi kebutuhan tersebut. Menurut (Sunarminto, 2010) sukses tidaknya
industri peternakan di Indonesia, khususnya industri ternak ruminansia
tergantung pada beberapa faktor. Salah satu faktor yang sangat penting adalah
pengemabangan tanaman untuk penyedian pakan utamanya yang berupa hijauan.
Semakin menyempitnya lahan pertanian subur
karena banyak digunakan sebagai pemukiman,
perkantoran, maupun fasilitas umum lainnya, menyebabkan perlunya upaya pemanfaatan lahan kering secara lebih intensif untuk
budi daya tanaman pangan, perkebunan dan tanaman pakan serta peternakan.
Perlunya peningkatan produktivitas untuk
mendukung ketersediaan pakan sepanjang tahun.
TINJAUAN PUSTAKA
Struktur lahan di daerah
pantai berbeda dengan di daerah pengunungan, demikian pula susunan vegetasinya
di kota berlainan dengan di daerah pedesaan. Umumnya struktur vegetasi lahan
terutama pekarangan di pedesaan mempunyai keanekaragaman tanaman yang besar,
mulai dari tanaman yang tumbuh menjalar diatas permukaan tanah sampai tanaman
yang mempunyai tinggi lebih besar dari 20 meter (Karyono,1980). Budidaya lorong (alley
cropping) dengan menggunakan leguminosa sebagai tanaman pagar (misalnya
lamtoro) dinilai mampu meningkatkan keberadaan bahan organik tanah. Pada lahan kering di daerah beriklim kering,
pengembangan usaha tani diarahkan untuk memanfaatkan lahan datar di pelembahan,
dengan kendala populasi gulma yang tinggi.
Pada kondisi demikian tampaknya sistem tumpang sari dan introduksi
tanaman tahunan cukup memberikan harapan. Menurut Beets (1982), pola tanam tumpangsari adalah bentuk pertamanan campuran
antara jenis – jenis tanaman yang ditanam dalam jarak dan baris – baris yang
teratur. Salah satu bentuk pola tanam tumpangsari termasuk juga pertamanan
campuran antara tanaman ekonomi dengan tanaman makanan ternak (Humphreys,
1979).
Edris dan soessono (1987),
komposisi jenis merupkan susunan dan jumlah jenis yang terdapat dalam komunitas
tumbuhan. Untuk mengetahui komposisi jenis suatu tegakan, maka identifikasi
jenis, jumlah serta susunannya menjadi hal yang wajib yang tak boleh dilupakan.
Menurut Mahendra (2009), komposisi jenis pada pekarangan/ hutan tanaman
merupaka komposisi yang disengaja, artinya jenis-jenis yang ditanam di
pekarangan/ hutan tanaman merupakan jenis-jenis yang terpilih, sesuai keinginan
pemilik. Akibat pemilihan jenis ini, maka terjadi kekhasan yaitu cendrung pada
jenis-jenis ang bermamfaat dan memilki nilai ual tinggi.
Menurut Soetikno (1990),
vegetasi menggambarkan perpaduan berbagai jenis tanaman di suatu wilayah atau
daerah. Suatu tipe vegetasi menggambarkan suatu daerah dari segi penyebaran
tumbuhan yang ada baik secara ruang maupun waktu. Menurut mahendra (2009),
penerapan sistem agroforestry membuat struktur dan komposisi jenis suatu
kawasan menjadi berbeda. Hal ini bisa kita bandingkan dengan tegakan murni atau
penanaman dengan monokultur. Komposisi jenisnya pasti akan berbeda. Sistem
agroforestry yang meniru hutan alam, memilki jenis yang beragam, struktur
vegetasinya pun bisa mendekati hutan alam. Kelimpahan seedling, sapling, poles
dan treesnya semakin tinggi seiring dengan pertamabahan fase agroforestrinya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum sistem agroforestry pada suatu
daerah tidak dapat langsung ditiru, meskipun perkembangannya ditempat asalnya
sangat maju. Hal ini disebabkan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
bentuk agroforestry yang akan diterapkan disuatu daerah sistem agroforestry
yang baik adalah sistem yang bersifat produktif, sustainable dan bisa diadopsi
oleh warga pada suatu daerah. Sistem
Agroforestry merupakan alternatip pengembangan pertanian lestari di lahan
kering dataran tinggi perlu mendapat perhatian, serta kesungguhan untuk dicoba
penerapannya dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan kesejahteraan
keluarganya. Sistem agroforetry yang berprinsip LEISA (Low External Input
Sustainable Agriculture) memanfaatkan bahan lokal, benih lokal, teknologi
lokal, dan kearifan lokal sangat dapat berkembang baik disuatu wilayah
Fungsi agroforestry pada suatu daerah akan pasti berbeda. Secara kesuluruhan peran agroforestry dalam ekosisitem menurut mahendra (2009) adalah menjaga kestabilan ekosisitem ditandai dengan keanekaragaan hayati yang tinggi, menjaga kestabilan tanah dan ketersediaan unsure hara dalam tanah, menjaga tata air dan ketersedian air tanah untuk proses fisiologi tanaman, memperbaiki struktur tanah, meminimalisisr dampak pemanasan global, meninkatkan swasembada dan mengurangi resiko hilangnya pendapatan karena pengaruh pasar atau biologi pada tanaman tertentu.
Penerapan agroforestry memiliki dua sisi yaitu sisi ekologi dan ekonomi, sehingga aspek pemilihan dan rencana jangka panjang akan menentukan yang dominan diantara keduanya. Banyak kasus dilapangan seperti over logging dan over area sering terjadi karena kurang memperhatikan aspek ekologi. Pendekatan ekonomi menjadikan produksi tanaman pokok yang ditanam untuk dijual akan dominan disuatu lahan menggeser tanaman kayu. Kondisi dan pengetahuan petani akan mempengaruhi penerapan agroforestry yang akan diterapkan. Pola tanam pada suatu daearah akan berbeda dengan daerah lain. Hal ini dipengaruhi oleh jenis tanaman yang ditanam, kontur tanah, dan lain-lain. Menurut Mahendra (2009), sistem agroforestry memilki pola tanam tertentu dalam mengkombinasikan komponen penyusunnya dalam satu ruang dan waktu. Pola ini dibentuk agar tidak terjadi interaksi negative antar komponen penyusunya. Interaksi negative dapat berupa kompetisi antar tanaman.
Penerapan agroforestry memiliki dua sisi yaitu sisi ekologi dan ekonomi, sehingga aspek pemilihan dan rencana jangka panjang akan menentukan yang dominan diantara keduanya. Banyak kasus dilapangan seperti over logging dan over area sering terjadi karena kurang memperhatikan aspek ekologi. Pendekatan ekonomi menjadikan produksi tanaman pokok yang ditanam untuk dijual akan dominan disuatu lahan menggeser tanaman kayu. Kondisi dan pengetahuan petani akan mempengaruhi penerapan agroforestry yang akan diterapkan. Pola tanam pada suatu daearah akan berbeda dengan daerah lain. Hal ini dipengaruhi oleh jenis tanaman yang ditanam, kontur tanah, dan lain-lain. Menurut Mahendra (2009), sistem agroforestry memilki pola tanam tertentu dalam mengkombinasikan komponen penyusunnya dalam satu ruang dan waktu. Pola ini dibentuk agar tidak terjadi interaksi negative antar komponen penyusunya. Interaksi negative dapat berupa kompetisi antar tanaman.
Pola tanam pada dataran tinggi yang diamati ada dua yaitu random dan alley cropping. Pola tanam random terbentuk karena tidak adanya perencanaan awal dalam tata letak dan guna lahan. Para petani dengan bebas menanam tanaman disuatu lahan tanpa memperhatikan pola tanam. Pola
tanam alley cropping pada dataran tinggi berfungsi untuk mengurangi laju air
pada saat hujan,sehingga mengurangi erosi, hilangnya unsur hara tanah,
meningkatkan daya ikat air oleh tanah.Menurut Huke dan Plecan (1992),
keuntungan dari pola alley cropping adalah melindungi tanaman dari angin
kencang dan cahaya yang berlebihan, menghasilkan pakan ternak dan konservasi
tanah.
Gambar 2. Pola tanam Alley cropping pada dataran tinggi
Pola
tanam alley cropping yang terlihat pada gambar diatas memiliki komponen berupa
tanaman jagung dan kedelai. Kedelai merupakan salah satu tanaman penambat
nitrogen, hampir
tidak ada tanaman dapat tumbuh tanpa adanya nitrogen (N) dan kebanyakan tanah
di daerah tropis telah diketahui memiliki cadangan N rendah. Namun, tidak
demikian halnya dengan tanaman penambat N, mereka semata-mata tidak tergantung
dengan cadangan N dalam tanah tetapi mereka mampu menambatnya melalui simbiosis
dengan mikroba tanah. Oleh karena itu beberapa spesies tanaman penambat N
menjadi penting bagi kelangsungan hidup keluarga pedesaan di daerah tropis
sebagai penyedia berbagai produk dan jasa.
Karda dan Spudiati (2012) melaporkan berbagai fungsi tanaman penambat N antara lain
sebagai sumber kayu api dan arang, pakan, penyubur tanah, kayu bangunan dan
sebagai pangan untuk manusia.
Pola
tanam pada dataran rendah dan daerah pesisir pantai memiliki pola yang sama
yaitu Trees along border, hal ini dimungkinkan karena berfungsi sebagai
pelindung. Daerah pesisir pantai sangat membutuhkan pelindung, angin yang
berasal dari arah pantai akan membawa molekul-molekul garam yang dapat
menghambat pertumbuhan tanaman bahkan mematikan. Agen wind break sangat diperlukan seperti tanaman cemara ekor udang dan
pandan. Untuk mencapai keberhasilan usaha tani
berkelanjutan di lahan kering perlu memperhatikan beberapa faktor yang
mendukung peningkatan produksi serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses
degradasi lahan. Peningkatan produksi di
lahan kering dapat dicapai melalui cara budidaya tanaman yang tepat seperti :
diversifikasi tanaman (multiple cropping),
penggunaan varietas unggul, pengolahan tanah yang tepat, pola tanam sesuai
ekosistem, pemupukan, pengelolaan air, pengendalian hama terpadu, pengendalian
gulma, serta upaya konservasi tanah dan air. Pola Trees along border
sangat cocok untuk dikombinasikan dengan tanaman cemara ekor udang yang
berfungsi sebagai melindungi dari uap garam yang dapat menghambat tanaman
pokok.
Gambar 3. Pohon cemara ekor udang
(kiri), pandan yang mengililigi lahan (kanan)
Tanah
pada daerah pesisir yang berpasir menyebabkannya tidak subur dan mendukung
pertumbuhan tanaman maka perlu penambahan bahan organic pada lahan tersebut, biasanya
ditambahkan biomulsa dan pupuk organic. Upaya untuk meningkatkan manfaat ternak sapi adalah
mengusahakannya secara terpadu dengan tanaman atau dikenal dengan sistem
integrasi tanaman-ternak. Sistem ini
memberikan keuntungan kepada petani-peternak karena : 1) pupuk kompos dari
kotoran ternak sapi dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai sumber
pendapatan, 2) ternak dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja dan juga sumber
pendapatan bila disewa oleh petani lain yang tidak memiliki ternak sapi, 3)
limbah tanaman pokok bermanfaat sebagai
pakan sehingga mengurangi biaya penyediaan pakan (Elly et al., 2008).
Ada tiga komponen
teknologi utama dalam sistem integrasi tanaman-ternak di lahan kering : (a)
teknologi budidaya ternak; (b) teknologi budidaya tanaman; (c) teknologi
pengolahan limbah pertanian untuk pakan dan pembuatan kompos. Teknologi dalam budidaya ternak adalah
pengandangan ternak dalam pola kelompok, yang dibarengi dengan penerapan
teknologi pemeliharaan ternak, termasuk strategi pemberian pakan. Teknologi budidaya tanaman yang biasa
diusahakan di lahan kering berupa sistim tumpang sari. Teknologi pengolahan limbah pertanian sebagai
pakan ternak menjadi salah satu kunci keberhasilan sistem integrasi
tanaman-ternak, disamping teknologi pengolahan dan pemanfaatan kompos untuk
meningkatkan kesuburan lahan. Agar
komponen teknologi tersebut dapat diintegrasikan secara sinergis, maka
pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak dilakukan dengan pendekatan
kelembagaan sebab kalau diserahkan kepada petani secara perorangan tidak akan
menguntungkan mengingat penguasaan lahan yang sempit dan pemilikan ternak yang
terbatas (Haryanto et al., 2002 cit Sukar et al., 2005).
KESIMPULAN
Sistem
agroforstry yang akan dilakukan pada suatu daerah seharusnya memperhatikan
berbagai aspek khususnya kearifan lokal setempat, dan harus memperhatikan
produktivitas, keberlanjutan dan adoptable. Pemilihan arah agroforestry
dipikirkan secara tepat dan teliti, antara ecomic
approach atau ecology approach. Penyusunan pola tanam pada sistem agroforestry akan dipengaruhi oleh fungsi tata guna
lahan, kondisi dan letak lahan. Jenis vegetasi yang akan menjadi komponen dalam
sistem akan sangat ditentukan oleh Iklim dan jenis tanah yag terdapat pada
daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Edris, I. dan
Soeseno, O.Silvika. Fakultas Kehutanan. Yogyakarta.
Elly,
F.H., B.M. Sinaga, S.U. Kuntjoro, dan N. Kusnadi. 2008.
Pengembangan Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara.
Jurnal Litbang Pertanian, 27 (2).
Humphreys, L. R.
2005. Tropical Pasture Utilitisation. Cambridge university press. Cambridge.
Karda,
I.W. dan Spudiati. 2012. Meningkatkan Produktifitas Lahan Marginal
Melalui Integrasi Tanaman Pakan dan Ternak Ruminansia. Fakultas Peternakan Universitas Mataram. ntb.litbang.deptan.go.id diakses tanggal 1 juli
2012.
Karyono. 1980.
Pengalaman dengan agroforestry di jawa, indonesia. Fakultas kehutanan.
Yogyakarta.
Mahendra, F. 2009.
Sistem Agroforestri . Graha Ilmu. Yogyakarta
Soetikno, S. 1990.
Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sukar, W.I. Werdhani, dan Soeharsono. 2005.
Sistem Integrasi Tanaman-Ternak di Lahan Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.
Sunarminto, B. H.
2010. Pertanian Terpadu Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional. BPFE UGM.
Yogyakarta.
(Pengarahan Singkat dari Prof. Dr. Ir. Soemitro P, M. Sc, dan Bambang Sowiegnyo S. Pt, M.Sc, Ph. D kepada penulis dan rekan-rekan penulis, sebelum pengambilan data)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar