Sabtu, 23 Maret 2013

Sistem Agroforestry (Pola Pertanian Terpadu) Di Daerah Istimewa Yogyakarta




PENDAHULUAN
             Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam sebuah peternakan. Biaya untuk pakan sebesar 70-80% dari biaya produksi, sehingga dirasa perlu adanya perhatian dalam persedian pakan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tanaman hijauan pakan untuk ternak ruminansia menjadi point central demi tercapainya swasembada daging sapi dan kerbau 2014. Kebutuhan pokok konsumsi tanaman hijauan untuk setiap harinya berkisar 10% dari berat badan ternak, sehingga dirasa perlu untuk meningkatkan produktivitas suatu lahan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Menurut (Sunarminto, 2010) sukses tidaknya industri peternakan di Indonesia, khususnya industri ternak ruminansia tergantung pada beberapa faktor. Salah satu faktor yang sangat penting adalah pengemabangan tanaman untuk penyedian pakan utamanya yang berupa hijauan.
          Semakin menyempitnya lahan pertanian subur karena banyak digunakan sebagai pemukiman, perkantoran, maupun fasilitas umum lainnya, menyebabkan perlunya upaya pemanfaatan lahan kering secara lebih intensif untuk budi daya tanaman pangan, perkebunan dan tanaman pakan serta peternakan. Perlunya peningkatan produktivitas untuk mendukung ketersediaan pakan sepanjang tahun.




TINJAUAN PUSTAKA
           Struktur lahan di daerah pantai berbeda dengan di daerah pengunungan, demikian pula susunan vegetasinya di kota berlainan dengan di daerah pedesaan. Umumnya struktur vegetasi lahan terutama pekarangan di pedesaan mempunyai keanekaragaman tanaman yang besar, mulai dari tanaman yang tumbuh menjalar diatas permukaan tanah sampai tanaman yang mempunyai tinggi lebih besar dari 20 meter (Karyono,1980). Budidaya lorong (alley cropping) dengan menggunakan leguminosa sebagai tanaman pagar (misalnya lamtoro) dinilai mampu meningkatkan keberadaan bahan organik tanah.  Pada lahan kering di daerah beriklim kering, pengembangan usaha tani diarahkan untuk memanfaatkan lahan datar di pelembahan, dengan kendala populasi gulma yang tinggi.  Pada kondisi demikian tampaknya sistem tumpang sari dan introduksi tanaman tahunan cukup memberikan harapan. Menurut Beets (1982), pola tanam tumpangsari adalah bentuk pertamanan campuran antara jenis – jenis tanaman yang ditanam dalam jarak dan baris – baris yang teratur. Salah satu bentuk pola tanam tumpangsari termasuk juga pertamanan campuran antara tanaman ekonomi dengan tanaman makanan ternak (Humphreys, 1979).
            Edris dan soessono (1987), komposisi jenis merupkan susunan dan jumlah jenis yang terdapat dalam komunitas tumbuhan. Untuk mengetahui komposisi jenis suatu tegakan, maka identifikasi jenis, jumlah serta susunannya menjadi hal yang wajib yang tak boleh dilupakan. Menurut Mahendra (2009), komposisi jenis pada pekarangan/ hutan tanaman merupaka komposisi yang disengaja, artinya jenis-jenis yang ditanam di pekarangan/ hutan tanaman merupakan jenis-jenis yang terpilih, sesuai keinginan pemilik. Akibat pemilihan jenis ini, maka terjadi kekhasan yaitu cendrung pada jenis-jenis ang bermamfaat dan memilki nilai ual tinggi.
Menurut Soetikno (1990), vegetasi menggambarkan perpaduan berbagai jenis tanaman di suatu wilayah atau daerah. Suatu tipe vegetasi menggambarkan suatu daerah dari segi penyebaran tumbuhan yang ada baik secara ruang maupun waktu. Menurut mahendra (2009), penerapan sistem agroforestry membuat struktur dan komposisi jenis suatu kawasan menjadi berbeda. Hal ini bisa kita bandingkan dengan tegakan murni atau penanaman dengan monokultur. Komposisi jenisnya pasti akan berbeda. Sistem agroforestry yang meniru hutan alam, memilki jenis yang beragam, struktur vegetasinya pun bisa mendekati hutan alam. Kelimpahan seedling, sapling, poles dan treesnya semakin tinggi seiring dengan pertamabahan fase agroforestrinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
           Secara umum sistem agroforestry pada suatu daerah tidak dapat langsung ditiru, meskipun perkembangannya ditempat asalnya sangat maju. Hal ini disebabkan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi bentuk agroforestry yang akan diterapkan disuatu daerah sistem agroforestry yang baik adalah sistem yang bersifat produktif, sustainable dan bisa diadopsi oleh warga pada suatu daerah. Sistem Agroforestry merupakan alternatip pengembangan pertanian lestari di lahan kering dataran tinggi perlu mendapat perhatian, serta kesungguhan untuk dicoba penerapannya dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan kesejahteraan keluarganya. Sistem agroforetry yang berprinsip LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) memanfaatkan bahan lokal, benih lokal, teknologi lokal, dan kearifan lokal sangat dapat berkembang baik disuatu wilayah

              Fungsi agroforestry pada suatu daerah akan pasti berbeda. Secara kesuluruhan peran agroforestry dalam ekosisitem menurut mahendra (2009) adalah menjaga kestabilan ekosisitem ditandai dengan keanekaragaan hayati yang tinggi, menjaga kestabilan tanah dan ketersediaan unsure hara dalam tanah, menjaga tata air dan ketersedian air tanah untuk proses fisiologi tanaman, memperbaiki struktur tanah, meminimalisisr dampak pemanasan global, meninkatkan swasembada dan mengurangi resiko hilangnya pendapatan karena pengaruh pasar atau biologi pada tanaman tertentu. 
          Penerapan agroforestry memiliki dua sisi yaitu sisi ekologi dan ekonomi, sehingga aspek pemilihan dan rencana jangka panjang akan menentukan yang dominan diantara keduanya. Banyak kasus dilapangan seperti over logging dan over area sering terjadi karena kurang memperhatikan aspek ekologi. Pendekatan ekonomi menjadikan produksi tanaman pokok yang ditanam untuk dijual akan dominan disuatu lahan menggeser tanaman kayu. Kondisi dan pengetahuan petani akan mempengaruhi penerapan agroforestry yang akan diterapkan. Pola tanam pada suatu daearah akan berbeda dengan daerah lain. Hal ini dipengaruhi oleh jenis tanaman yang ditanam, kontur tanah, dan lain-lain. Menurut Mahendra (2009), sistem agroforestry memilki pola tanam tertentu dalam mengkombinasikan komponen penyusunnya dalam satu ruang dan waktu. Pola ini dibentuk agar tidak terjadi interaksi negative antar komponen penyusunya. Interaksi negative dapat berupa kompetisi antar tanaman. 
        




                                    Gambar 1. Pola tanam Random pada dataran tinggi

            Pola tanam pada dataran tinggi yang diamati ada dua yaitu random dan  alley cropping. Pola tanam random terbentuk karena tidak adanya perencanaan awal dalam tata letak dan guna lahan. Para petani dengan bebas menanam tanaman disuatu lahan tanpa memperhatikan pola tanam. Pola tanam alley cropping pada dataran tinggi berfungsi untuk mengurangi laju air pada saat hujan,sehingga mengurangi erosi, hilangnya unsur hara tanah, meningkatkan daya ikat air oleh tanah.Menurut Huke dan Plecan (1992), keuntungan dari pola alley cropping adalah melindungi tanaman dari angin kencang dan cahaya yang berlebihan, menghasilkan pakan ternak dan konservasi tanah. 



                            Gambar 2. Pola tanam Alley cropping pada dataran tinggi

            Pola tanam alley cropping yang terlihat pada gambar diatas memiliki komponen berupa tanaman jagung dan kedelai. Kedelai merupakan salah satu tanaman penambat nitrogen, hampir tidak ada tanaman dapat tumbuh tanpa adanya nitrogen (N) dan kebanyakan tanah di daerah tropis telah diketahui memiliki cadangan N rendah. Namun, tidak demikian halnya dengan tanaman penambat N, mereka semata-mata tidak tergantung dengan cadangan N dalam tanah tetapi mereka mampu menambatnya melalui simbiosis dengan mikroba tanah.  Oleh karena itu beberapa spesies tanaman penambat N menjadi penting bagi kelangsungan hidup keluarga pedesaan di daerah tropis sebagai penyedia berbagai produk dan jasa. Karda dan Spudiati (2012) melaporkan berbagai fungsi tanaman penambat N antara lain sebagai sumber kayu api dan arang, pakan, penyubur tanah, kayu bangunan dan sebagai pangan untuk manusia.
            Pola tanam pada dataran rendah dan daerah pesisir pantai memiliki pola yang sama yaitu Trees along border, hal ini dimungkinkan karena berfungsi sebagai pelindung. Daerah pesisir pantai sangat membutuhkan pelindung, angin yang berasal dari arah pantai akan membawa molekul-molekul garam yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman bahkan mematikan. Agen wind break sangat diperlukan seperti tanaman cemara ekor udang dan pandan. Untuk mencapai keberhasilan usaha tani berkelanjutan di lahan kering perlu memperhatikan beberapa faktor yang mendukung peningkatan produksi serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan.  Peningkatan produksi di lahan kering dapat dicapai melalui cara budidaya tanaman yang tepat seperti : diversifikasi tanaman (multiple cropping), penggunaan varietas unggul, pengolahan tanah yang tepat, pola tanam sesuai ekosistem, pemupukan, pengelolaan air, pengendalian hama terpadu, pengendalian gulma, serta upaya konservasi tanah dan air. Pola Trees along border sangat cocok untuk dikombinasikan dengan tanaman cemara ekor udang yang berfungsi sebagai melindungi dari uap garam yang dapat menghambat tanaman pokok.
Gambar 3. Pohon cemara ekor udang (kiri), pandan yang mengililigi lahan (kanan)

            Tanah pada daerah pesisir yang berpasir menyebabkannya tidak subur dan mendukung pertumbuhan tanaman maka perlu penambahan bahan organic pada lahan tersebut, biasanya ditambahkan biomulsa dan pupuk organic. Upaya untuk meningkatkan manfaat ternak sapi adalah mengusahakannya secara terpadu dengan tanaman atau dikenal dengan sistem integrasi tanaman-ternak.  Sistem ini memberikan keuntungan kepada petani-peternak karena : 1) pupuk kompos dari kotoran ternak sapi dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai sumber pendapatan, 2) ternak dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja dan juga sumber pendapatan bila disewa oleh petani lain yang tidak memiliki ternak sapi, 3) limbah tanaman pokok bermanfaat  sebagai pakan sehingga mengurangi biaya penyediaan pakan (Elly et al., 2008).
Ada tiga komponen teknologi utama dalam sistem integrasi tanaman-ternak di lahan kering : (a) teknologi budidaya ternak; (b) teknologi budidaya tanaman; (c) teknologi pengolahan limbah pertanian untuk pakan dan pembuatan kompos.  Teknologi dalam budidaya ternak adalah pengandangan ternak dalam pola kelompok, yang dibarengi dengan penerapan teknologi pemeliharaan ternak, termasuk strategi pemberian pakan.  Teknologi budidaya tanaman yang biasa diusahakan di lahan kering berupa sistim tumpang sari.  Teknologi pengolahan limbah pertanian sebagai pakan ternak menjadi salah satu kunci keberhasilan sistem integrasi tanaman-ternak, disamping teknologi pengolahan dan pemanfaatan kompos untuk meningkatkan kesuburan lahan.  Agar komponen teknologi tersebut dapat diintegrasikan secara sinergis, maka pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak dilakukan dengan pendekatan kelembagaan sebab kalau diserahkan kepada petani secara perorangan tidak akan menguntungkan mengingat penguasaan lahan yang sempit dan pemilikan ternak yang terbatas (Haryanto et al., 2002 cit Sukar et al., 2005). 





KESIMPULAN
            Sistem agroforstry yang akan dilakukan pada suatu daerah seharusnya memperhatikan berbagai aspek khususnya kearifan lokal setempat, dan harus memperhatikan produktivitas, keberlanjutan dan adoptable. Pemilihan arah agroforestry dipikirkan secara tepat dan teliti, antara ecomic approach atau ecology approach. Penyusunan pola tanam pada sistem agroforestry akan dipengaruhi oleh fungsi tata guna lahan, kondisi dan letak lahan. Jenis vegetasi yang akan menjadi komponen dalam sistem akan sangat ditentukan oleh Iklim dan jenis tanah yag terdapat pada daerah tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Edris, I. dan Soeseno, O.Silvika. Fakultas Kehutanan. Yogyakarta.
Elly, F.H., B.M. Sinaga, S.U. Kuntjoro, dan N. Kusnadi.  2008.  Pengembangan Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Jurnal Litbang Pertanian,        27 (2).
Humphreys, L. R. 2005. Tropical Pasture Utilitisation. Cambridge university press.  Cambridge.
Karda, I.W. dan Spudiati.  2012.  Meningkatkan Produktifitas Lahan Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pakan dan Ternak Ruminansia.  Fakultas Peternakan Universitas Mataram.  ntb.litbang.deptan.go.id diakses tanggal 1 juli 2012.
Karyono. 1980. Pengalaman dengan agroforestry di jawa, indonesia. Fakultas kehutanan. Yogyakarta.
Mahendra, F. 2009. Sistem Agroforestri . Graha Ilmu. Yogyakarta
Soetikno, S. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sukar, W.I. Werdhani, dan Soeharsono.  2005.  Sistem Integrasi Tanaman-Ternak di Lahan Kering.  Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.
Sunarminto, B. H. 2010. Pertanian Terpadu Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional. BPFE UGM. Yogyakarta.





(Pengarahan Singkat dari Prof. Dr. Ir. Soemitro P, M. Sc, dan Bambang Sowiegnyo S. Pt, M.Sc, Ph. D kepada penulis dan rekan-rekan penulis, sebelum pengambilan data)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar